Wednesday, February 13, 2008

SIAGA SATU BANJIR DI BANDUNG?

Pikiran Rakyat, Opini, 13 Februari 2008
Foto: Sobirin, 2007, Sisa Banjir Bandang Hegarmanah Bandung


Oleh RENDRA PERMANA

Menurut Sobirin DPKLTS sungai-sungai kecil itu memiliki daerah tangkapan hujan di kawasan Bandung Utara. Kondisi semua sub-DAS sangat memprihatinkan karena daerah di sekitarnya gundul dan beralih fungsi menjadi areal pertanian dan permukiman.




KITA sama-sama menyaksikan banjir kembali menggenangi Jakarta. Kali ini, banjir dirasakan lebih parah dibandingkan dengan siklus banjir lima tahunan yang kerap melanda ibu kota. Hal ini tentu saja sangat mengagetkan warga maupun pemerintah Jakarta. Bahkan media cetak maupun elektronik melukiskan "ibu kota lumpuh" akibat kejadian banjir tempo hari.

Bila kita amati, upaya-upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah daerah Jakarta untuk mencegah terjadinya banjir telah banyak dilakukan, baik pembuatan kanal banjir, pembersihan, dan pengerukan sungai hingga perbaikan saluran drainase. Namun hasilnya tetap saja Jakarta tergenang air.


Dalam sebuah pemberitaan di salah satu TV swasta, Gubernur Jakarta Fauzi Bowo terlihat pasrah dan berharap agar "alam lebih bersahabat". Faktor-faktor alamiah seperti curah hujan yang tinggi baik di hulu sungai dan di kota, serta pasang air laut yang tinggi memang tidak bisa dicegah. BMG sebetulnya telah mengeluarkan peringatan dini akan bahaya banjir di beberapa provinsi. Peringatan penting yang seharusnya disikapi jauh-jauh hari sebelum bahaya tiba, nyatanya masih luput dari ingatan dan perhatian kita.


Mengapa banjir?

Sekadar mengingatkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir. Semuanya bisa dikategorikan ke dalam dua faktor, yakni faktor alamiah dan nonalamiah. Hujan adalah faktor alamiah. Tadi telah disebutkan, curah hujan yang tinggi tidak bisa dicegah. Itu sudah kehendak alam.


Hujan merupakan siklus air yang alami. Air yang berada di permukaan bumi akan menguap karena pengaruh panas surya. Setelah menjadi titik-titik air di awan, air akan kembali lagi ke bumi dalam bentuk hujan. Air hujan diserap oleh tanah, sebagian diikat oleh pohon. Selebihnya kemudian mengalir ke sungai dan kembali lagi ke laut.


Masalah kemudian timbul apabila "infrastruktur alami" yang tersedia di bumi tidak bisa lagi menjalankan fungsinya. Tanah yang seharusnya bertugas menyerap air tidak menjalankan tugasnya karena memang tidak ada lagi tanah. Bukankah tanah sudah banyak terhalang oleh tembok dan beton buatan manusia? Air tidak bisa diikat di dalam tanah karena memang pepohonan sudah banyak ditebang.


Walhasil, sungai sebagai gerbang terakhir menjadi berlebih bebannya. Daya tampung sungai yang sudah berlebih itu diperparah dengan beban tambahan sebagai tempat sampah. Hasilnya? Air tumpah ruah menggenangi kota.


Jadi, banjir lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor nonalamiah.

Banjir lebih diakibatkan ulah manusia sediri. Bahaya banjir itu kemudian menjadi bencana yang merusak dan merugikan manakala exposure atau terpaan manusia dan harta bendanya sangat dekat dengan bahaya banjir. Contohnya, permukiman penduduk di bantaran sungai. Ditambah dengan "kerentanan" atau resistensi yang rendah terhadap bahaya banjir itu sendiri. Seperti sistem drainase yang buruk, ketidakpedulian warga dan pemerintah akan bahaya banjir, kebiasaan membuang sampah ke sungai, pembabatan hutan di kawan hulu DAS demi kepentingan pembangunan permukiman, pertanian, dan lain-lain.


Rawan banjir


Secara geografis, Kota Bandung memiliki 15 sungai utama, dengan 32 anak sungai. Total berjumlah 47 sungai. Sunga-sungai tersebut antara lain Cikapundung, Cipamokolan, Cidurian, Cicadas, Cinambe, Ciwastra, Citepus, Cibedug, Curugdogdog, Cibaduyut, Cikahiyangan, Cibuntu, Cigondewah, Cibeureum, dan Cianjur. Kondisi yang terjadi saat ini adalah sungai-sungai itu sudah rusak.


Menurut Sobirin dari DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda), sungai-sungai kecil itu memiliki daerah tangkapan hujan di kawasan Bandung utara melalui lima subdaerah aliran sungai (DAS). Sub-DAS terebut adalah sub-DAS Cibeureum, Cikapundung, Cidurian, Cicadas, dan Cikeruh. Kondisi semua sub-DAS sangat memprihatinkan karena daerah di sekitarnya gundul dan beraih fungsi menjadi areal pertanian dan permukiman.


Dengan kata lain, kualitas lingkungan di hulu sungai yang sudah rusak. Seperti di kota-kota besar lainnya di Indonesia, sungai di Bandung pun punya tugas ekstra sebagai "tempat sampah dan limbah". Akibatnya, walau dalam skala yang lebih kecil, kawasan Hergarmanah, Kecamatan Cidadap tempo hari mengalami nasib yang sama dengan Jakarta.


Kejadian banjir dahsyat pernah melanda Kota Bandung pada 28 November 1945. Kejadian yang merenggut ratusan korban jiwa itu menerjang kawasan Sasak Gantung, Lengkong Besar, Kebonjati, dan daerah sekitar lainnya. Banjir tahun 1945 itu merupakan banjir yang terjadi dalam siklus 100 tahun sekali.


Namun bila melihat kondisi intensitas curah hujan tinggi, ditambah keadaan lingkungan saat ini, bukan hal mustahil bila dalam waktu dekat banjir dahsyat akan kembali dialami oleh Kota Bandung. Harap diingat, banjir di Jakarta beberapa hari lalu tidak termasuk siklus banjir lima tahunan. Datangnya tiba-tiba dan cepat. Dampaknya pun dahsyat, bahkan melebihi dampak siklus banjir lima tahunan.


Boleh jadi, kejadian yang dialami oleh saudara-saudara kita penduduk Hegarmanah di kawasan Cidadap, adalah "pemanasan" sebelum bahaya banjir yang sesungguhnya. Untuk itu, kita perlu siaga satu, dalam arti tidak boleh lengah sedikit pun dan harus waspada.


Waspada dan siaga banjir


Memang menjadi hal tidak mudah dan bukan pekerjaan yang enteng bila kita dihadapkan pada persoalan bahaya banjir. Butuh waktu, kerja keras, dan, boleh jadi, pengorbanan ekstra agar bahaya banjir itu menjadi minim atau hilang sema sekali.

Banjir akan menjadi bencana bila bahaya itu bersinggungan dengan exposure atau terpaan. Kondisi bantaran sungai di Kota Bandung sama seperti di kota-kota lainnya di negara berkembang. Permukiman padat dan rapat mepet-mepet memenuhi pinggiran sungai. Artinya, manusia dan harta bendanya dekat dengan bahaya banjir.

Sementara itu, kerentanan pun sangatlah tinggi. Kerusakan lingkungan di daerah hulu sub-DAS Kota Bandung memprihatinkan. Setidaknya dalam kacamata saya dan juga Sobirin (DPKLTS). Drainase kota? Entah bagaimana dan siapa yang seharusnya mengurus. Banjir cileuncang adalah fenomena nyata buruknya drainase kota. Kesadaran penduduk akan bahaya banjir? Boro-boro. Terihat betapa tak acuhnya warga Kota Bandung dengan menjadikan sungai seperti tempat sampah.

Pengetahuan warga tentang bahaya banjir? Minim. Kesiapan warga akan bahaya banjir? Apalagi. Saya punya rumusan untuk meminimalisasi bahaya banjir supaya tidak menjadi bencana yang merusak. Pertama, jauhkan permukiman warga kota dari bantaran sungai. Bisa? Wallahu`alam. Sekian juta jiwa harus pindah ke mana? Berapa biayanya? Baik, kita coba yang kedua. Kerentanan yang direduksi sekecil mungkin. Ini bisa dilakukan dengan menjalankan dua kegiatan, yakni mitigasi dan kesiapan. Dalam mitigasi, ada beberapa pilihan.


Pertama, mitigasi menitikberatkan pada pencegahan, dimaksudkan untuk mencegah risiko terkini menjadi lebih buruk berlandaskan pada pola dan konsep pembangunan yang baru atau perubahan lain dalam masyarakat. Seperti aturan atau kebijakan penataan ruang dan lahan, aturan mendirikan bangunan, aturan kawasan lindung, atau daerah resapan air, dan sebagainya. Cara ini hanya efektif dalam sebuah daerah yang belum dibangun atau dalam fase awal pembangunan.


Kedua, titik beratnya pada perlindungan properti. Digunakan untuk memodifikasi properti atau yang melingkupinya untuk mengurangi risiko kerusakan dri bahaya yang telah diketahui. Seperti membuat rumah lebih tinggi dari jangkauan air bila banjir tiba.

Ketiga, titik berat pada proteksi sumber daya alam. Digunakan untuk mengurangi konsekuensi bahaya yang telah diketahui dan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.


Keempat, titik berat pada layanan darurat kebencanaan, meliputi peringatan dini, respons tanggap darurat, perlindungan fasilitas vital, maintenance keselamatan dan kesehatan. Agar efektif, langkah ini harus dibangun dalam rencana darurat kebencanaan, dilatih, dan seantiasa dikaji ulang atau direvisi.


Titik berat kelima pada projek-projek infrastruktur. Projek ini melibatkan struktur konstruksi buatan manusia. Projek ini bisa sangat mahal dan lama. Contohnya seperti Jakarta dengan projek banjir kanal barat dan timurnya.


Titik berat keenam pada informasi publik, berupa penginformasian dan mengingatkan warga akan bahaya banjir. Warga ditekankan untuk semaksimal mungkin dapat menghindar dari bahaya banjir.


Mengingat kondisi yang sudah siaga satu, menurut hemat saya, langkah mitigasi yang bisa segera dilakukan adalah dengan titik berat pada informasi publik dan layanan darurat kebencanaan. Warga Kota Bandung yang berada dalam zona bahaya banjir diberikan informasi dan diingatkan agar senantiasa waspada dan siaga untuk dapat menghindar dari bahaya banjir.


Peringatan dini akan bahaya banjir dengan pemantauan curah hujan dan debit air sungai segera dilakukan. Sangat dianjurkan menggunakan media massa atau provider seluler sebagai saluran komunikasi peringatan dini tersebut. Warga kota di pinggiran sungai pun bisa dilibatkan secara aktif untuk kegiatan pemantauan. Selanjutnya, penyiapan dan penyiagaan perlengkapan dan tenaga medis (rumah sakit, puskesmas, dokter, paramedis, dll.), energi listrik (PLN), air bersih (PDAM), pangan, transportasi, komunikasi (Telkom) dan keamanan (polisi dan tentara) khusus untuk layanan darurat kebencanaan.


Langkah lainnya adalah kesiapan. Sebelum bahaya banjir datang, kita sudah menyiapkan diri kita dengan memiliki, pertama, rencana darurat kebencanaan yang mengidentifikasikan bahaya, risiko, dan respons yang harus dilakukan. Ini bisa dibuat di tataran pemegang kebijakan publik atau di keluarga sekalipun.

Kedua, menyiapkan sumber daya manusia yang cukup sebagai relawan dengan proses rekruitmen, penugasan, dan pelatihan. Relawan-relawan ini akan membantu dalam posisi-posisi kunci operasi respons tanggap darurat. Relawan ini boleh jadi tidak resmi sifatnya (informal) tapi mutlak harus diorganisasi dengan baik.


Ketiga, identifikasi dan inventarisasi sumber daya dan persediaan lain yang diperlukan dalam darurat kebencanaan. Seperti persediaan pangan, obat-obatan, air bersih, tempat perlindungan sementara (selter), dan lain sebagainya.


Keempat, mempersiapkan fasilitas-fasilitas guna keperluan darurat kebencanaan. Rumah sakit lengkap dengan ICU, dokter, perawat, ambulans, obat-obatannya. Puskesmas dengan dokter, perawat dan obat-obatannya. Lokasi evakuasi dan perlengkapan unselter. Gudang atau tempat persediaan pangan dan air bersih. Perlengkapan dapur umum dan sebagainya.


Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan menginisiasi lalu menjalankan sederet kegiatan di atas? Yang pasti, Pemerintah Kota Bandunglah yang harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk itu. Dalam konteks ini, hukumnya wajib. Lalu, tentu saja, warga Kota Bandung sendiri. Lantas bagaimana operasionalisasinya? Apakah pemerintah dan juga warga Kota Bandung mau dan mampu melaksanakannya? Kumaha atuh, Kang Dada?***


Penulis,
aktivis Bandung Spirit dan Ketua Pusat Studi dan Pengkajian Kebencanaan Jawa Barat
.

No comments: