Wednesday, October 03, 2007

MENINGKATKAN INDEK DAYA BELI MASYARAKAT

Masukan untuk BAPEDA Prov. Jawa Barat, 01-10-2007
Obrolan Komite Perencana Kelompok II

Foto: Sobirin 2006, Gelandangan Kota Bandung

Oleh: Sobirin

Yang paling memprihatinkan adalah Indek Daya Beli (IDB) masyarakat Jawa Barat, yaitu hanya pada angka 59,42 di tahun 2006, artinya kemiskinan masih merupakan masalah besar di Provinsi Jawa Barat.


Indek Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat masih rendah, yaitu pada angka 70,05 di tahun 2006. Padahal cita-citanya IPM tahun 2010 adalah 80,00. Unsur IPM adalah kesehatan, pendidikan, dan daya beli. Yang paling memprihatinkan adalah Indek Daya Beli (IDB) masyarakat Jawa Barat, yaitu hanya pada angka 59,42 artinya kemiskinan masih merupakan masalah besar di Provinsi Jawa Barat.

Penelitian dan analisis para ahli mengatakan bahwa investasi dan laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat cukup signifikan, tetapi sayangnya belum mampu menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Banyak strategi dan kebijakan, tetapi implementasi di lapangan tidak mudah, alasan klasik adalah tidak adanya anggaran.


Di bawah ini beberapa kajian operasional sebagai masukan untuk BAPEDA Provinsi Jawa Barat, semoga bisa diimplementasikan di lapangan dalam rangka meningkatkan IDB:


Satu: Mengingat implementasi peningkatan daya beli tidak mudah dengan anggaran APBN/APBD yang sangat terbatas, maka perlu diupayakan melalui anggaran kemitraan CSR (Corporate Social Responsibility) dari dunia usaha. Paling tidak memetakan jumlah anggaran CSR yang ada di Jawa Barat dan implementasinya dalam rangka peningkatan daya beli rakyat.


Dua: Membangun lembaga kredit mikro untuk rakyat miskin dengan sistem Grameen Bank. Filosofinya adalah mendorong rakyat mampu menolong dirinya sendiri, karena sebenarnya orang miskin memiliki kemampuan tersembunyi yang belum dimanfaatkan. Sangat diharapkan Koperasi Sauyunan Jawa Barat (KSJB) yang saat ini tengah dirintis oleh Gubernur dan pimpinan Jawa Barat lainnya, akan berpihak kepada rakyat miskin.


Tiga: Helping each other to help oneself adalah konsep pemberdayaan masyarakat miskin dengan cara tribina, yaitu: bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha. Langkah yang dilakukan adalah memutus lingkaran setan ketidak-berdayaan, dari [penghasilan rendah - tidak ada tabungan - tidak ada investasi] menjadi [penghasilan rendah - kredit awal - jalankan usaha -penghasilan lebih - menabung - investasi - kredit berikut lebih besar - jalankan usaha - dst, dst]. Beri kailnya, kolamnya tidak dimonopoli, dan ikannya dibeli. Harus ada pendampingan-pendamping oleh kelompok profesional kemasyarakatan yang independen.


Empat: Menciptakan paket-paket usaha pedesaan menuju kemandirian pedesaan, kelestarian lingkungan, ekowisata pedesaan. Misalnya: paket usaha kompos organik, paket pertanian organik, paket energi pedesaan, dan lain-lainnya.


Lima: Menggalakkan usaha-usaha informil berbasis bahan bekas dan “used material” lainnya, misal: bisnis kertas bekas, plastik bekas, barang rongsokan. Sekaligus dalam rangka reduce, reuse, recycle, dan zero waste.


Enam: Pendampingan dan pembinaan beberapa usaha mikro masyarakat sebagai percontohan di tiap Kabupaten/Kota dengan membangun kompetisi yang sehat.


Tujuh: Peningkatan daya beli bukan sekedar masalah ekonomi saja, tetapi juga masalah sosial, budaya, dan lingkungan. Perlu pembelajaran Gerakan Masyarakat Hidup Sederhana, budaya tidak konsumtif, tidak terkecuali diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat yang diteladani oleh pemimpin. Bisa dikaji dan ditiru konsep gerakan swadesi yang terkenal dari India di masa Mahatma Gandhi.


Delapan: Penghijauan, reboisasi, pemulihan kawasan lindung, dengan jenis pohon “the right tree in the right place” di prioritaskan di daerah irigasi yang masih mengandalkan tadah hujan (luas daerah irigasi tadah hujan di Jawa Barat ini seluas 170.000 ha, jadi paling tidak 1/3 di hulunya mutlak harus dihijaukan).


Sembilan: Menciptakan program pembangunan skala besar, tetapi padat karya, selama 3-5 tahun (dalam masa kepemimpinan seorang Gubernur). Didampingi oleh lembaga profesional independen, dan selalu diaudit secara transparan.


Sepuluh: pemuliaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG), sejak desa hingga provinsi, sehingga bisa menjaring aspirasi kebutuhan masyarakat bottom-up secara benar. Musrenbang diharapkan tidak sekedar pertemuan seremonial sebagai realisasi program-program top-down.


Sebelas: Peresentase (%) pagu indikatif APBD harus lebih fokus kepada program-program akselerasi peningkatan daya beli masyarakat.


Duabelas: Menekan laju pertumbuhan penduduk baik alami maupun migrasi. Migrasi penduduk dari luar provinsi harus bisa ditekan, terutama bagi migran tidak produktif dan hanya ingin menyandarkan hidup di Jawa Barat.


Demikian semoga ada manfaatnya, minimum membuka ide-ide lain yang lebih implementatif, efektif dan efisien.

No comments: