Tuesday, October 02, 2007

PENYUDETAN CITANDUY BAHAYAKAN LINGKUNGAN

SUARA PEMBARUAN DAILY, 29/04/2003, HD/A-18
Foto: Sobirin 2004, Pangandaran Penuh Lumpur Bila Citanduy Disodet

Padahal, menurut Sobirin, untuk menyelesaikan semua permasalahan itu harus dimulai dari hulu, yang sebenarnya bisa dikendalikan dengan rehabilitasi lahan dan konversi tanah (RLKT).


JAKARTA - Penyelamatan Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dan menekankan pada prinsip keberlanjutan (sustainability).
Penyudetan Sungai Citanduy yang dimaksudkan untuk mengurangi sedimentasi (pelumpuran) di Segara Anakan diyakini justru akan menimbulkan masalah baru yang berdampak negatif lebih besar.

Selain menghamburkan biaya yang diperoleh dari utang luar negeri, penyudetan juga mengancam kelestarian keragaman hayati Segara Anakan itu sendiri, serta kawasan pantai dan teluk di sekitarnya. Intervensi teknik (penyudetan) yang akan menggelembungkan utang itu juga mempunyai risiko kegagalan ekosistem yang tinggi. Jika itu terjadi, dipastikan kerusakan lingkungan di sana tidak dapat dipulihkan lagi.


Demikian benang merah diskusi mengenai rencana proyek sudetan Sungai Citanduy yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, baru-baru ini.
Hadir antara lain pakar teknologi pemrosesan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Mubiar Purwasasmita, staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Ing Agus Maryono, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) yang juga alumni ITB, Ir Sobirin dan Sugandar Sumawiganda PhD.

Mubiar mengatakan Segara Anakan sebagai infrastruktur alam memerlukan cara penanganan yang lebih besar bobot alamiahnya, agar berbagai proses alami itu benar-benar dapat mendukung upaya pelestarian dan pemeliharaannya.
Ia sangat menyesalkan jika pemerintah (Depertemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) serta pihak tertentu tetap ngotot dengan proyek sudetan Citanduy, yang mengabaikan potensi alam serta inisiatif masyarakat, terutama nelayan yang akan merasakan dampaknya secara langsung.

Mubiar menegaskan penyudetan Sungai Citanduy tidak mempunyai satu pun dampak positif tetapi justru akan menghancurkan lingkungan, terutama di kawasan Pangandaran.
Proyek sudetan Citanduy, ia melanjutkan, pada prinsipnya hanya memindahkan masalah (zero sum game) dan semakin menjauh dari pokok permasalahan. Ia juga menyangsikan jika proyek itu telah dikaji melalui penelitian yang mendalam.

Jika benar ada kajian seharusnya pemerintah paham, penyudetan itu hanya akan menoreh pantai Nusa Were, yang merupakan topografi agak datar sehingga akan menjadi ancaman banjir bagi daerah itu.
"Selain itu, sedimen apung (sekitar enam juta ton per tahun) dari sudetan yang langsung dimuntahkan ke pantai tidak akan bisa mengendap karena dinamika ombak yang sangat kuat dari Samudera Hindia. Sampah itu akan mengubah kebiruan laut yang indah di Pantai Pangandaran menjadi keruh kecokelatan," katanya.

Rehabilitasi DAS

Seperti halnya Mubiar, Sobirin juga mengakui sasaran pengembangan daerah aliran sungai (DAS) Citanduy yang lebih mengarah pada upaya penyudetan terlihat semakin menjauh dari akar permasalahan.
Keduanya menjelaskan, proyek di hulu yang tidak dijalankan secara optimal ditinggalkan begitu saja dan beralih ke tengah. Begitu seterusnya, hingga kemudian bergeser ke hilir. Proyek yang difokuskan di hilir menimbulkan masalah baru di muara dan laut yang justru lebih besar dan parah.

Padahal, menurut Sobirin, untuk menyelesaikan semua permasalahan itu harus dimulai dari hulu, yang sebenarnya bisa dikendalikan dengan rehabilitasi lahan dan konversi tanah (RLKT).
"Sayangnya, upaya itu diabaikan karena dianggap lebih mahal dan memakan waktu lama dibanding penyudetan. Tentu saja, selama pemerintah menggunakan pendekatan proyek, yang dihitung hanya keuntungan sesaat, nilai positif jangka panjang tidak diperhatikan," katanya.

Lebih jauh Sobirin menjelaskan, berdasarkan data yang dikaji beberapa pakar selama 15 tahun (1984-1999), terjadi penurunan rata-rata total sedimen yang terangkut dari DAS Citanduy.
Dari 16,778 juta ton per tahun pada periode 1984-1991 turun menjadi 6,353 juta ton per tahun periode 1992-1999. Berarti terjadi penurunan rata-rata 1,331 juta ton per tahun selama 1992-1999.

"Penurunan itu sebagai dampak program RLKT antara tahun 1980-1992. Data itu sekaligus menunjukkan, proyek di hulu sebenarnya masih bisa diandalkan untuk menekan total sedimen yang terangkut dari DAS Citanduy," katanya.

Pendapat itu dibenarkan Agus Maryono, yang mengatakan upaya paling tepat untuk menyelamatkan Segara Anakan adalah konservasi di hulu. Upaya itu bukan hanya bagi DAS Citanduy, tetapi juga sungai-sungai lain yang bermuara ke Segara Anakan. Agus meyakini konservasi daerah hulu, melalui perbaikan kondisi DAS serta merestorasi alur sungai secara selektif untuk mengurangi erosi yang masuk ke Segara Anakan, jauh lebih baik dibanding penyudetan.

Perbaikan DAS bisa berupa penghijauan, pencegahan erosi, mengembangkan hutan rakyat, perbaikan terasering, peningkatan daya tangkap air di areal permukiman dan pertanian, penerapan drainase ramah lingkungan, dan pembuatan embung-embung kecil.
"Tentu syaratnya adalah melibatkan sebesar-besarnya partisipasi masyarakat. Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari, penyelamatan ekosistem Segara Anakan dengan sudetan hanya bersifat parsial, karena hanya menangani ma salah hilir. Sementara penanganan sedimentasi harus dimulai dari sumbernya, terutama hulu DAS Citanduy," katanya. (HD/A-18)

No comments: