Friday, May 04, 2007

KALA SUNDA DAN ANTISIPASI BENCANA

Pikiran Rakyat, Senin, 9 Januari 2006

Foto: Bruce Marlin, 2004, www.cirrusimage.com
Tonggeret, Turaes, Uir-uir, Garengpung tanda berakhirnya musim hujan

Kalender Lingkungan Hidup Tatar Sunda
Oleh: SOBIRIN


TEPAT setahun yang lalu, pada malam hari, para budayawan, pemerhati lingkungan, masyarakat adat, mahasiswa, lingkung seni, paguron silat, dan warga Tatar Sunda lainnya memadati Pendopo Wali Kota Bandung dalam rangka menghadiri peluncuran perdana kalender Kala Sunda. Waktu itu, Selasa Pahing tanggal 18 bulan Januari tahun 2005 Masehi atau hari Anggara Pahing tanggal 29 bulan Kasa tahun 1927 Kala Surya Saka Sunda, atau tanggal 1 Suklapaksa (parocaang) bulan Kartika tahun 1941 Kala Candra Caka Sunda.

Tokoh utama yang membidani penerbitan kalender Kala Sunda ini adalah Ali Sastramidjaja (70 tahun). Saya mengenal baik Ali Sastramidjaja ini dan saya biasa memanggil dengan panggilan akrab Abah Ali, seorang putra Sunda yang sangat tekun dan teliti, sehingga penanggalan Kala Sunda ini dapat diterbitkan. Betapa ketekunan Abah Ali ini patut mendapat acungan jempol, sebab selama kurang lebih sembilan tahun sejak 1983 hingga 1991, Abah Ali telah melakukan penelitian tentang Kala Sunda secara rinci. Hasil penelitian yang diperbaiki lagi pada 1998 kemudian disosialisasikan melalui internet, dan setelah sekian lama baru pada tahun 2005 diterbitkan menjadi kalender Kala Sunda.

Perwajahan penanggalannya sangat bagus, dengan desain grafis oleh Rajaya Yogaswara Mintaredja dan informasi data penunjang dikumpulkan oleh Roza Rahmadjasa Mintaredja dan kawan-kawannya. Format penampilan kalender Kala Sunda yang eksklusif ini merupakan bukti bahwa masyarakat Tatar Sunda mampu dan mau bangkit menggali kearifan budaya tradisional warisan karuhun yang agung, sebagai bekal kemandirian dalam meraih kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Diperkirakan pada 78 M, di Jawa mulai dikenal kalender surya Saka yang berasal dari India (berbeda dengan kalender surya Saka Sunda), yang kemudian dipakai sebagai dasar pengenalan waktu oleh hampir semua kerajaan di pulau Jawa. Pada 1633 M diresmikan kalender Sultan Agung yang mengadopsi kalender Saka dikombinasi dengan kalender Islam. Kemudian pada 1855, M Paku Buwono VII menetapkan kalender surya Pranata Mangsa yang dikaitkan dengan kalender Gregorian. Di pulau Bali sampai saat ini pun masih dikenal kalender tradisional Bali yang sering disebut dengan nama Wariga. Kalender Bali ini merupakan kalender Saka yang berbasis surya dimodifikasi menjadi kalender surya dan candra (suryacandra, lunisolar).

Hasil penelitian Abah Ali mengungkapkan, Kala Sunda sebenarnya telah ada sejak dulu, dibuat dan dimanfaatkan oleh nenek moyang Tatar Sunda untuk kepentingan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pergantian musim dan pertanian. Bahkan, dikatakan bahwa Kala Sunda ini lebih tua dari kala-kala lain yang ada dan berkembang di masyarakat Jawa dan Bali. Keunikan kalender Kala Sunda ini adalah terdiri dari dua jenis kalender, yaitu kalender surya yang disebut Kala Surya Saka Sunda dan kalender candra yang disebut Kala Candra Caka Sunda.

Kala lingkungan hidup

Selama tahun 2005 yang lalu, saya mengikuti kalender Kala Sunda dan kalender Pranata Mangsa Jawa, serta membandingkan terhadap peristiwa bencana lingkungan yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Walaupun ada istilah-istilah yang sama, Kala Sunda sama sekali berbeda dengan Pranata Mangsa Jawa. Saya menilai Kala Sunda lebih komprehensif dan untuk saya menjadi lebih mudah dalam memahami peristiwa-peristiwa alam yang terjadi. Paling tidak saya pribadi mengatakan bahwa Kala Sunda tepat disebut sebagai kala lingkungan hidup.

Pertama, kita simak Kala Surya Saka Sunda yaitu bagian dari kalender Kala Sunda yang didasarkan posisi edar bumi mengelilingi matahari. Awal tahun Kala Surya Saka Sunda ditetapkan sewaktu matahari meninggalkan posisi paling selatan. Jadi, pada saat matahari berada di posisi paling selatan yaitu di atas 23,5 derajat Lintang Selatan pada tanggal 22 Desember, diartikan sebagai tutup tahun Kala Surya Saka Sunda. Bumi beredar mengelilingi matahari dan berputar pada sumbunya. Sumbu putar bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang edarnya, sehingga belahan bumi secara bergantian condong ke arah atau menjauhi matahari. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September, matahari berada tepat di atas katulistiwa, pada saat tersebut siang dan malam sama panjang di mana-mana. Kemudian pada tanggal 21 Juni, matahari akan mencapai posisi paling utara yaitu di atas 23,5 derajat Lintang Utara. Perputaran dan peredaran bumi mengelilingi matahari ini menimbulkan musim yang berbeda di muka bumi ini.

Saat ini, kebanyakan masyarakat mengatakan musim dan iklim tidak menentu lagi, misalnya, tiba-tiba terjadi angin ribut, hujan berkepanjangan menyebabkan bencana banjir dan longsor. Ada beberapa penyebab, yaitu birokrat, pengusaha dan masyarakat tidak lagi peduli atau tidak lagi memiliki pegangan pengenalan waktu yang berkaitan dengan lingkungan hidup, sehingga terjadi degradasi lingkungan yang telah melampaui batas dan kehancuran iklim mikro yang hebat. Andaikan Kala Sunda ini dapat kembali menjadi ruh dan benteng kehidupan sehari-hari masyarakat Tatar Sunda, saya percaya konsep antisipasi kebencanaan berbasis masyarakat akan terlaksana.

Dalam satu tahun, Kala Surya Saka Sunda terbagi menjadi 12 bulan, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawalu, Kasanga, Kadasa, Desta atau Hapitlemah, Sada atau Hapitkayu. Dapat dipercaya bahwa bulan-bulan Kasa, Karo, Katiga adalah musim hujan, bulan-bulan Kapat, Kalima, Kanem adalah musim pancaroba menjelang kemarau, bulan-bulan Kapitu, Kawalu, Kasanga adalah musim kemarau, bulan-bulan Kadasa, Hapitlemah, Hapitkayu adalah musim pancaroba menjelang hujan.

Jawa Barat berada pada posisi 6 derajat 50 menit Lintang Selatan sampai 7 derajat 50 menit Lintang Selatan, dan matahari berada di atas wilayah kita ini pada awal Maret (bulan Katiga) dan pertengahan Oktober (bulan Kadasa). Teman saya Zadrah L. Dupe, seorang ahli iklim ITB menjelaskan bahwa pada saat matahari berada di atas Jawa Barat, sering terjadi pembubungan uap air dan kemudian turun kembali dengan kecepatan tinggi menjadi angin ribut dan terkadang disertai hujan es yang dapat menimbulkan bencana.

Kondisi lingkungan yang terus menurun seperti sekarang akan mengundang bencana kekeringan yang semakin kerontang di musim kemarau, akan mengundang banjir dan longsor yang semakin dahsyat di musim hujan! Banjir bandang dan longsor yang terjadi di Jember (Jawa Timur) dan di Banjarnegara (Jawa Tengah) baru-baru ini adalah bencana lingkungan memilukan yang seharusnya bisa diantisipasi, diwaspadai, bahkan dihindari andaikan konsep manajemen bencana berbasis masyarakat dengan roh kearifan budaya dan pengenalan waktu diterapkan.

Dalam Kala Sunda tersirat, menghadapi ancaman bencana banjir dan longsor, masyarakat harus melakukan mitigasi dan kewaspadaan pada bulan-bulan Kadasa, Hapitlemah, Hapitkayu, dan siap siaga pada bulan-bulan Kasa, Karo, Katiga. Menghadapi ancaman bencana kekeringan, masyarakat harus melakukan mitigasi dan kewaspadaan pada bulan-bulan Kapat, Kalima, Kanem, dan siap siaga pada bulan-bulan Kapitu, Kawalu, Kasanga.

Selanjutnya yang kedua, kita simak Kala Candra Caka Sunda yaitu bagian dari Kala Sunda yang didasarkan posisi bulan mengelilingi bumi. Dalam satu tahun, kala candra ini terbagi menjadi 12 bulan, yaitu: Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Kemudian masing-masing bulan dibagi menjadi dua, yaitu Suklapaksa (parocaang) dan Kresnapaksa (paropoek).
Ketentuan Kala Candra Caka Sunda adalah sebagai berikut: bulan separoh terang sempurna jatuh pada tanggal 1 Suklapaksa, bulan penuh tanggal 8 Suklapaksa, bulan separuh gelap tanggal 15 Suklapaksa. Bulan separuh gelap sempurna jatuh pada tanggal 1 Kresnapaksa, bulan gelap sempurna tanggal 8 Kresnapaksa, bulan separuh terang tanggal 14 atau 15 Kresnapaksa. Gravitasi bulan menarik permukaan laut tepat di bawahnya, menyebabkan terjadinya pasang surut laut. Pasang surut berubah sesuai fase-fase bulan, dan pasang tertinggi terjadi ketika bulan baru (bulan gelap sempurna, tanggal 8 Kresnapaksa) atau bulan purnama (bulan penuh, tanggal 8 Suklapaksa).

Kita ingat peristiwa 10 Januari 2005 ketika warga pantai selatan Kabupaten Sukabumi ramai-ramai mengungsi gara-gara ada wangsit akan terjadi badai dan tsunami. Memang karakter laut selatan saat itu menunjukkan ketinggian ombak yang berbeda dari biasanya. Saya mencoba melihat kalender Kala Candra Caka Sunda, tanggal 10 Januari 2005 jatuh sekira tanggal 9 Kresnapaksa bulan Asuji, dan saat itu memang waktu terjadinya pasang laut. Kejadian terakhir 3 Januari 2006 ketika laut pasang menyergap pantai Cantigi dan Losarang di Kabupaten Indramayu. Tanggal tersebut jatuh pada 10 Kresnapaksa bulan Asuji, yang juga saatnya terjadi pasang laut. Menarik sekali ketika Kala Candra Caka Sunda sangat cocok untuk digunakan oleh masyarakat pantai dalam rangka prakiraan cuaca dan kepentingan kehidupan sehari-hari lainnya.

Masa depan Kala Sunda

Seyogianya ada pihak yang berminat melakukan penelitian lanjutan tentang kaitan antara Kala Sunda dengan unsur-unsur meteorologi, misal kaitan bulan-bulan Kala Sunda dengan radiasi matahari, lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, dll. Disadari bahwa dengan menggunakan metode-metode meteorologi yang terbaru pun masih belum cukup andal dalam prakiraan musim untuk pertanian dan kewaspadaan terhadap ancaman bencana lingkungan, sebab hasil yang diperoleh adalah untuk skala meso dan makro. Dalam hal ini, Kala Sunda dapat merupakan alternatif, setidaknya suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal mikro atau lokal sub daerah aliran sungai. Apalagi bila kalender Kala Sunda ini bisa dikembangkan menjadi kalender fenologi, yaitu mengaitkan antara proses yang terjadi secara periodik pada tanaman atau hewan dikaitkan dengan cuaca dan lingkungan sekitar, akan lebih besar lagi manfaatnya.

Hal itulah yang menjadi alasan untuk menyelamatkan masa depan Kala Sunda, sebuah warisan kearifan agung karuhun Tatar Sunda yang telah susah payah digali oleh Abah Ali. Jangan sampai malah menjadi sesuatu yang dianggap sekadar primbon atau klenik. Sebuah tantangan bagi generasi muda Sunda dalam rangka menyelamatkan lingkungan hidupnya.***
Penulis, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

No comments: