Thursday, May 24, 2007

PENYIAPAN TANAH HARUS PROAKTIF

Pikiran Rakyat, 24 Mei 2007
Foto: Sobirin, 2007, Kaki Gunung Cikuray Garut

Sementara itu, Sobirin menegaskan, program distribusi tanah tetap harus memerhatikan konsepsi dan fungsi lahan. ”Pertama, lahan merupakan hak alam (konsep leuweung larangan). Sebagai hak kehidupan flora dan fauna, lahan merupakan leuweung tutupan. Ketiga, sebagai hak manusia bisa menjadi leuweung baladaheun,” katanya.

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Jawa Barat harus secara proaktif menyambut program pemerintah pusat yang menyiapkan tanah bagi rakyat miskin seluas lebih dari 9,25 juta hektare. Program itu juga harus menjadi bagian integral dari penyelesaian sengketa tanah dan berbasis pada upaya pelestarian lingkungan.

Demikian rangkuman pendapat dari anggota Komisi A DPRD Jabar Syaiful Huda Syafi'i (F-PKB), anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, Ketua Fraksi PAN DPR RI Zulkifli Hasan, dan anggota DPD RI P.R.A. Arief Natadiningrat, di Bandung dan Jakarta, Rabu (23/5).

Meski dalam pemaparan Kepala BPN Pusat sudah disampaikan pengelompokan jenis tanah yang bisa masuk dalam program tersebut, namun kata Huda, pemerintah di daerah harus memberikan masukan lebih komprehensif.

”Dalam pertemuan dengan presiden nanti, mestinya gubernur, bupati, dan wali kota mampu memberikan masukan tentang persoalan pertanahan di masing-masing wilayah,” ujarnya.

Masukan itu terutama untuk menetapkan tanah mana saja di Jabar yang bisa dimasukkan dalam program distribusi tanah untuk rakyat miskin. ”Karena itu, juga diperlukan political will pemerintah daerah untuk benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat.”
Keberpihakan itu ditunjukkan dengan menjadikan program pusat itu sebagai bagian integral dari konflik agraria di provinsi ini. Huda menegaskan, gubernur dan bupati/wali kota di Jabar harus mengarahkan program itu untuk menyudahi konflik pertanahan tersebut.

Dari hasil inventarisasi, di Jabar setidaknya mencuat sekitar 1.000-an kasus konflik tanah. ”Hampir 80 persen di antaranya merupakan konflik antara perkebunan dan masyarakat di sekitarnya. Mayoritas konflik tanah melibatkan masyarakat kalangan bawah,” ucapnya.

Kasus yang mencuat juga terkait dengan masalah hak guna usaha (HGU) yang banyak di antaranya terbengkalai. ”Ada wacana melakukan evaluasi terhadap HGU yang terbengkalai tersebut. Dalam hal program tanah untuk rakyat miskin tersebut, mestinya pemerintah di daerah memiliki iktikad kuat untuk mengarahkannya bagi kepemilikan tanah untuk rakyat miskin,” tuturnya.
Berdasarkan data, saat ini terdapat sekitar 10,9 juta rakyat miskin di Jabar. Untuk itu, diperlukan verifikasi lebih jauh kalangan miskin mana yang berhak atas distribusi tanah tersebut.

Sementara itu, Sobirin menegaskan, program distribusi tanah tetap harus memerhatikan konsepsi dan fungsi lahan. ”Pertama, lahan merupakan hak alam (konsep leuweung larangan). Sebagai hak kehidupan flora dan fauna, lahan merupakan leuweung tutupan. Ketiga, sebagai hak manusia bisa menjadi leuweung baladaheun,” katanya.

Ketiga, kata Sobirin, harus tetap merupakan satu kesatuan dalam setiap kebijakan menyangkut pertanahan. Selama ini, konsep kepemilikan tentang lahan justru menjadi penyebab kian terdegradasinya lingkungan.

”Jadi, yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah mengarahkan masyarakat untuk bisa menikmati hasil alam yang sudah ada sekarang ini. Jangan sampai terjadi, bagi-bagi kaveling tanah malah berujung pada kesemrawutan manajemen dan pengelolaan lingkungan,” ujarnya.

Dikuatkan UU

Sementara itu, Ketua Fraksi PAN DPR Zulkifli Hasan mengatakan, rencana pemerintah yang akan menyiapkan tanah sekitar 9,25 juta hektare untuk rakyat miskin perlu didukung semua pihak dengan penguatan oleh undang-undang (UU).

”Itu sangat baik. Kita setuju karena itu bagian dari realisasi land reform. Tapi harus dibicarakan dengan DPR. Tidak hanya didaftarkan pada keppres atau PP. Namun juga harus berdasarkan UU. Sebab hal itu menyangkut nasib masyarakat banyak,” katanya di gedung DPR/MPR, Senayan Jakarta, kemarin.

Menurut Zulkifli, penguatan aturan dengan UU mengenai pemberian tanah itu dimaksudkan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Selain itu, ungkap Zulkifli, persyaratan dan prosedur memperoleh tanah tersebut dikaji oleh pemerintah secara mendalam. ”Persyaratan dan prosedurnya harus jelas. Jangan sampai yang miskin tidak dapat lahan. Malah diambil yang tidak berhak. Bisa bermasalah nanti,” katanya.


Hal senada diungkapkan anggota DPD RI P.R.A. Arief Natadiningrat. Menurut dia, pemerintah perlu memperkuat aturan dalam pemberian tanah. ”Jangan sampai, yang miskin tidak dapat tanah. Tetapi justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum terkait, sehingga tujuan baik itu tidak tercapai,” katanya.


Arief mewanti-wanti bahwa rencana pemberian tanah untuk rakyat miskin itu mempunyai muatan politis lain. Pasalnya, rencana itu muncul menjelang Pemilu 2009 yang semakin dekat. ”Kita bukannya curiga, tapi tentunya iktikad baik itu perlu didukung. Hanya saja implementasinya perlu penguatan di segala aspek,” katanya. (A-64/A-109/A-130)***

No comments: