Tuesday, September 25, 2007

BANDUNG DAN KEKERINGAN PERKOTAAN

KOMPAS, Jawa Barat, 25-09-2007, Forum
Foto: Sobirin 2006, Bandung Kemarau, Cikapundung Mengering

Oleh Sobirin

Saya berencana mengajak Pak Dadang, teman saya dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung, berkeliling kota melihat taman-taman kota. Pak Dadang mengatakan, jangan sekarang, musim kemarau, rerumputan dan tanaman gersang kurang air.




Suatu hari di bulan Agustus 2007 saya bertemu seorang teman, Pak Dadang, dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung. Saya berencana mengajak teman tersebut berkeliling Kota Bandung melihat taman-taman kota. Pak Dadang mengatakan supaya jangan saat musim kemarau sebab rerumputan dan tanaman gersang karena kurang air.

Saya merenung, apakah setiap tahun akan terus rutin demikian? Di musim hujan tanaman menghijau, tetapi air berlebih menjadi banjir cileuncang, dan di musim kemarau tanaman mengering, gersang, dan kerontang. Bisakah sepanjang tahun, baik musim hujan maupun musim kemarau, Kota Bandung memiliki taman-taman yang tetap menghijau, dengan sumber daya air alami yang berkecukupan?

Hari ini, Selasa (25/9-2007), Kota Bandung merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-197. HUT Kota Bandung dihitung sejak tahun 1810 ketika Bupati Wiranatakusumah II secara resmi memindahkan Kota Bandung dari Krapyak di tepi Sungai Citarum ke sekitar tempat yang sekarang ini menjadi pendopo kota. Pindahnya Kota Bandung ini dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) pada tanggal 25 September 1810, yang sekarang ini disepakati bersama sebagai tanggal HUT Kota Bandung, dan Bupati Wiranatakusumah II ditetapkan sebagai the founding father of Bandung.

Di akhir abad ke-19, ketika warga Kota Bandung keturunan Eropa semakin banyak, mereka menuntut zelfbestuur (lembaga pemerintahan otonom). Berdasarkan
Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) Tahun 1903, sejak tanggal 1 April 1906 Kota Bandung ditetapkan sebagai gemeente (kota praja) yang otonom. Sejak itu Kota Bandung telah mengalami paling tidak 26 kali pergantian gemeenteraad, burgemeester, atau wali kota, yaitu dari mulai EA Maurenbrecher (1906-1907) hingga Dada Rosada (2004-sekarang).

Dalam perkembangannya, banyak sekali julukan, pujian, dan ejekan yang pernah diterima Kota Bandung, misalnya Paradise in Exile, Bandung Excelsior, De Bloem van Bersteden, Parijs van Java, Bandung Kota Kembang, Bandung Ibu Kota Asia-Afrika, Bandung Kota Lubang, Bandung Kota FO, Bandung Kota Sampah. Masih banyak lagi sebutan lain sebagai dampak dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ketidakpuasan warga

Kecenderungan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota yang selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman, udara semakin panas dan berdebu, jumlah pohon masih kurang, banyak pohon yang mati, menjadi lautan sampah, kurang air bersih, sungainya sekarat, dan lain-lain. Kota Bandung di zaman Parijs van Java tentunya sangat berbeda dengan zaman sekarang yang amburadul.

Dulu penduduknya masih ratusan ribu jiwa yang patuh karena tekanan aturan. Sekarang jumlah tersebut sudah menjadi jutaan jiwa yang bebas, merdeka, semau gue. Dulu sumber daya alamnya masih cukup bahkan berlebih, sekarang sudah sangat minim bahkan minus. Saya yakin, jika wali kota zaman dulu sekaliber B Coops (1920-1921) atau SA Reitsma (1921-1928) ditunjuk sebagai wali kota di zaman sekarang, dipastikan sama puyengnya dengan Dada Rosada dalam menghadapi masalah penduduk yang terus bertambah, pedagang kaki lima, kemacetan kota, banjir cileuncang, Saritem, dan masih banyak lagi yang lain.

Sampai dengan HUT ke-197, banyak warga kota tidak peduli bahwa air adalah sumber daya primer bagi perkotaan. Selain itu, warga juga tidak menyadari bahwa Kota Bandung telah memasuki tahap rawan kekeringan. Kekeringan perkotaan (urban drought) adalah sebuah fenomena kompleks antara masalah hidrologi perkotaan dan manajemen perkotaan.

Berbeda dengan fenomena alam gempa bumi yang datangnya tiba-tiba, kekeringan perkotaan datangnya perlahan sehingga disebut sebagai bencana yang merayap (creeping disaster). Warga kota kelas menengah dan bawah baru sadar dan kebingungan ketika air ledeng mati, air sumur habis, aliran listrik digilir, selokan mengering berbau penuh sampah, dan jalanan berdebu.

Akan tetapi, warga kota kelas atas tetap saja tidak memiliki sense of crisis karena masih mampu membeli air dalam kemasan, menggunakan generator bila aliran listrik digilir, yang juga dipakai untuk menyedot air tanah. Selain itu, mereka juga menggunakan AC di mobil dan di rumah, serta dengan tenangnya mencuci mobil dan menyiram halaman rumah mewahnya dengan air menggunakan selang.

Mari kita renungkan bersama, betapa sesungguhnya Kota Bandung ini dalam tahap sangat rawan kekeringan. Pada zaman ketika dijuluki Parijs van Java dan julukan lain di masa keemasan (1920-1940), luas Kota Bandung lebih kurang 3.000 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa. Daerah tangkapan hujan Kota Bandung waktu itu sekitar 15.000 hektar dengan curah hujan sekitar 3.000 milimeter per tahun.

Dengan perhitungan sederhana mengenai potensi air hujan, evapotranspirasi dan kebutuhan air baku waktu itu diperoleh nilai faktor keamanan (FK) air baku kota mencapai angka enam. Sebagai perbandingan, bila nilai FK sama dengan satu, artinya kota dalam klasifikasi kritis. Jadi, nilai FK sama dengan enam artinya sangat aman. Cur cor caina, hejo tatangkalanana, recet manukna, genah jeung merenah dayeuhna.

Kota adalah Kita

Pada awal-awal kemerdekaan (1950), luas Kota Bandung lebih kurang 8.000 hektar dan daerah tangkapan hujannya sekitar 20.000 hektar. Dengan jumlah penduduk yang meningkat menjadi lebih kurang 650.000 jiwa, nilai FK air baku turun menjadi 2,6 yang artinya masih agak aman.

Sekarang pada tahun 2007, luas Kota Bandung mencapai hampir 17.000 hektar. Walaupun daerah tangkapan hujannya meningkat menjadi sekitar 50.000 hektar, kawasan lindung gundul dan jumlah penduduknya pun telah membengkak mendekati tiga juta jiwa. Alhasil, nilai FK air baku menurun drastis hanya tinggal 0,1 yang artinya sangat sangat kritis. Andaikan kawasan lindung di hulu dapat dipulihkan fungsi lindungnya, nilai FK air baku memang bisa meningkat, tetapi maksimum hanya bisa mencapai angka dua. Artinya, agak aman, tetapi mendekati kritis.

Sudah saatnya seluruh warga Kota Bandung prak-prung-der melakukan gerakan budaya rakyat dan kemitraan peduli kota. Bersama-sama panen air di musim hujan, hemat air di musim kemarau, menanam pohon perkotaan, dan tidak membuang sampah sembarangan.

Siapa pun wali kotanya, Kota Bandung adalah milik kita bersama. Kota adalah kita. Seorang ahli perkotaan berkata, "Tunjukkan kepadaku sebuah kota. Maka, saya akan tahu bagaimana perilaku warganya." Selamat HUT Ke-197 Kota Bandung.

SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Bandung Spirit

1 comment:

Gede said...

Faktanya memang demikian Pak. Selain kering, air sungai juga hitam dan aroma busuk lepas ke atas, menyusup ke hidung warga Bandung.

Selamat Ultah buat Bandung.
Salam.

Gede H. Cahyana