Wednesday, September 19, 2007

KONTROVERSI PENATAAN BABAKAN SILIWANGI

RUANG PUBLIK, MEDIA PERUBAHAN KEBIJAKAN
Sumber: UNIKOM, 2004, Develop by : Gov. Science Web Dept.
Foto: Sobirin, 2004, Babakan Siliwangi Malah Terbakar
Oleh: Caroline Paskarina *)
Diskusi salah satu kelompok aktor: Diskusi masyarakat peduli lingkungan Kota Bandung (22-01-2003), hadir antara lain Dindin S. Maolani, Budi Radjab, Deden Sambas, Mubiar, Sobirin, serta Acil Bimbo. Hasil diskusi menolak rencana pengembangan Babakan Siliwangi terkait dengan RTH.


Selengkapnya:
RUANG PUBLIK SEBAGAI MEDIA PERUBAHAN KEBIJAKAN:

TINJAUAN TERHADAP KONTROVERSI
PENATAAN KAWASAN BABAKAN SILIWANGI BANDUNG


Oleh: Caroline Paskarina *)
*) Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNIKOM dan Staf Peneliti pada Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UNPAD.
Sumber, UNIKOM, 2004.


Pendahuluan

Studi kebijakan publik sesungguhnya tidak hanya menggambarkan proses formulasi, implementasi, dan evaluasi suatu kebijakan. Secara implisit, studi kebijakan publik dapat memberikan suatu gambaran mengenai interaksi antara negara (pemerintah) dengan masyarakat. Kebijakan merupakan produk dari interaksi tersebut sehingga karakteristik kebijakan akan sangat ditentukan oleh pola relasi kekuasaan di antara para stakeholders yang terlibat.

Oleh karena itu, pandangan tentang studi kebijakan sebagai proses birokratis-administratif yang hanya menjadi domain dari institusi pemerintah menjadi sulit digunakan untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung dalam keseluruhan tahap proses kebijakan. Lahirnya suatu produk kebijakan tidaklah otomatis mencapai idealisasinya meskipun telah melalui keseluruhan tahap sebagaimana dikemukakan dalam konsep rasional-komprehensif yang dianut oleh kaum positivis.

Dalam pandangan kritis, studi kebijakan publik sebagai proses politik berkaitan erat dengan konsep demokrasi karena proses kebijakan pada dasarnya berorientasi pada akomodasi kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud jelas merupakan proses tarik-menarik dari berbagai kepentingan di masyarakat yang kemudian membentuk opini publik. Dengan demikian, proses kebijakan harus dimaknai sebagai proses dialogis di antara berbagai stakeholders dengan kepentingannya masing-masing yang kemudian hasil kesepakatan dari proses dialog itulah yang akan menentukan isi dari kebijakan tersebut. Dalam banyak kasus, proses dialogis ini seringkali hanya berlangsung dii tingkat elit para pengambil keputusan tanpa melibatkan kelompok-kelompok masyarakat lain yang sebenarnya juga terkena dampak dari kebijakan tersebut.

Sebagai proses dialogis, kebijakan dapat dianalisis dari pertarungan wacana dan argumentative turn yang dikemukakan oleh berbagai stakeholders yang terlibat. Fenomena inilah yang menonjol dalam kasus penataan kawasan Babakan Siliwangi. Proses dialogis yang semula relatif lancar dalam tahap-tahap proses kebijakan yang “normal” ternyata kemudian menimbulkan kontroversi ketika isu substantif dari kebijakan tersebut keluar dari “arena” pembuatan keputusan dan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Adu argumentasi dalam ruang publik kemudian mengarah pada munculnya perubahan substansi kebijakan, meskipun baru mencapai tahap formulasi kebijakan.


Latar Belakang Kasus

Kontroversi mengenai penataan kawasan Babakan Siliwangi sebenarnya sudah muncul sejak lama. Babakan Siliwangi merupakan suatu ruang hijau terbuka alamiah atau hutan kota yang berada di pusat Kota Bandung. Konflik mengenai Babakan Siliwangi terutama berkaitan dengan tarik-menarik kepentingan tentang siapa yang paling berhak menguasai atau mengelola kawasan tersebut. Pada tahun 1970-an, tarik-menarik kepentingan ini melibatkan Pemerintah Kota Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB) namun kemudian berangsung mencapai titik temu sehingga pada awal tahun 1990-an kawasan tersebut dapat dibangun sebagai kawasan wisata alam yang penggunaannya juga bersifat umum dan tidak eksklusif bagi ITB.

Konsep pengembangan dan penataan ulang kawasan Babakan Siliwangi tidak hanya melibatkan pihak Pemerintah Kota sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator tapi juga publik secara keseluruhan sebagai pemilik dari kawasan tersebut. Sebagai kawasan yang unik, Babakan Siliwangi rentan dengan isu-isu ekologi, transportasi, sosial, ekonomi, sampai pada isu budaya. Babakan Siliwangi dapat dikatakan sebagai kawasan yang sensitif bagi setiap upaya pengembangan walaupun sebagai bagian dari wilayah kota, kemungkinan persentuhan dengan upaya pengembangan merupakan suatu keniscayaan yang tidak terelakkan.

Pada tahun 1980-an, rencana pengelolaan Babakan Siliwangi dititikberatkan pada pembangunan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) sebagai gedung yang berfungsi seperti jembatan yang menghubungkan dua tepian lembah Sungai Cikapundung. Bagian yang menjadi lokasi Sabuga sampai ke tepi Sungai Cikapundung dirancang sebagai ruang air terbuka (danau buatan) yang memiliki fungsi estetis dan hidrologis. Sementara pada desain yang dibuat akhir tahun 1990-an, mencoba memasukkan fungsi ruang air (di depan Sabuga) sebagai bagian dari penataan elemen landscape di kawasan Babakan Siliwangi.

Secara umum, berbagai gagasan yang dikembangkan selama periode 1970 sampai dengan 1990-an berkisar pada upaya memadukan unsur budaya dan unsur alam dalam pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi. Perubahan mendasar dalam desain penataan kawasan Babakan Siliwangi mulai tampak ketika Walikota Aa Tarmana melontarkan gagasan untuk mengembangkan Babakan Siliwangi sebagai kawasan wisata terpadu (one stop Bandung art centre) yang di dalamnya memasukkan pula unsur komersial yakni pusat mode, bangunan apartemen (kondominium), wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.

Gagasan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Penataan Kawasan Babakan Siliwangi melalui SK Walikota No. 593/2001. Tim ini beranggotakan Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Bangunan, Badan Penanaman Modal Daerah, Bagian Hukum, serta Dinas Pariwisata. Tim ini bertugas mempertimbangkan setiap proposal yang masuk dari para investor[1]. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul konsep pengembangan kawasan Babakan Siliwangi dari Bappeda Kota Bandung yang kemudian masuk ke DPRD Kota Bandung berikut investor yang akan bekerja sama dalam pengelolaannya, yakni PT Esa Gemilang Indah (Group Istana) yang telah menyatakan siap memberikan kontribusi sebesar Rp 22,5 milyar bagi Pemerintah Kota Bandung. Nota kesepakatan kerja sama antara Pemerintah Kota Bandung dengan PT EGI ini dinyatakan dalam Lembaran Kota (LK) No. 17 Tahun 2002 tentang Penataan Kawasan Babakan Siliwangi.

Tahap selanjutnya, LK ini dibahas dalam Pansus DPRD namun tidak berhasil menghasilkan kesepakatan karena adanya pertentangan pendapat di kalangan anggota Pansus. Pertentangan pendapat ini disebabkan ketidakjelasan rancangan yang diajukan oleh Bappeda, bahkan kemudian terungkap bahwa Bappeda tidak pernah membuat rancangan sendiri tapi hanya mengajukan rancangan yang dibuat oleh PT EGI. Pansus kemudian memutuskan untuk memanggil investor (PT EGI) untuk melakukan ekspose di hadapan Pansus mengenai rencana detail penataan kawasan Babakan Siliwangi[2].

Selanjutnya, pembahasan dalam Pansus kemudian diajukan kepada Panitia Musyawarah (Pamus) yang beranggotakan para ketua fraksi dan ketua komisi. Pada tahap ini pun pembahasan belum menghasilkan keputusan yang bulat sehingga permasalahan ini terpaksa diputuskan di tingkat paripurna. Dalam rapat paripurna, hampir semua fraksi menyepakati dikembangkannya kawasan Babakan Siliwangi sesuai dengan konsep yang diajukan Bappeda (dan PT EGI), kecuali Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) yang menyatakan menolak dan Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yang setuju tapi dengan beberapa catatan[3].

Rapat paripurna tidak sampai pada tahap voting untuk pengambilan keputusannya melainkan menempuh jalur lobi agar persetujuan bisa sepenuhnya utuh. Untuk itulah, masalah persetujuan dewan terhadap rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi ditangguhkan untuk sementara waktu sehingga masih ada waktu untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam, baik di kalangan dewan sendiri maupun dengan pihak luar.

Dalam selang waktu itulah, masalah rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi ternyata mampu muncul ke permukaan dan keluar dari “arena” dewan hingga menimbulkan polemik dan perdebatan panjang. Perdebatan ini justru dipicu dari kalangan akademisi ITB sendiri yang sebenarnya turut dilibatkan dalam proses konsultasi kelayakan pengembangan kawasan Babakan Siliwangi. Isu yang memicu kontroversi di kalangan publik adalah isu bahwa kawasan Babakan Siliwangi merupakan daerah resapan air sehingga di atasnya tidak boleh dilakukan pembangunan dalam skala besar[4]. Tetapi isu ini kemudian di-counter oleh kalangan akademisi ITB lainnya yang menyatakan bahwa kawasan Babakan Siliwangi bukan merupakan daerah resapan air melainkan daerah luahan air[5].

Demikianlah arus tuntutan publik justru baru muncul ketika proses formulasi kebijakan sudah hampir mencapai tahap final. Sementara dari kronologis pembahasan rancangan kebijakan sejak diajukan Bappeda sampai dengan pembahasan dalam rapat paripurna DPRD, isu tersebut tidak pernah muncul. Kritik yang diajukan para pemerhati lingkungan hidup inilah yang justru membawa alur proses kebijakan keluar dari “arena” pengambilan keputusan dan masuk dalam ruang publik melalui adu argumentasi yang panjang di berbagai media massa.


Pertarungan Wacana dalam Kasus Babakan Siliwangi

Kontroversi mengenai pengembangan kawasan Babakan Siliwangi melibatkan berbagai stakeholders yang berbeda. Namun, pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan ini dapat diklasifikasikan menjadi empat pihak, yakni DPRD Kota Bandung sebagai aktor utama pengambil keputusan, Pemerintah Kota Bandung yang berkepentingan untuk mempertahankan rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi, PT EGI (investor) yang berkepentingan untuk memenangkan tender pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi, dan kelompok-kelompok masyarakat yang menuntut agar kebijakan pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi sebagai pusat perdagangan komersil dibatalkan. Kelompok-kelompok masyarakat ini antara lain terdiri dari kalangan akademisi dari ITB dan UNPAD, kalangan tokoh masyarakat (Sesepuh Kota Bandung), dan kalangan budayawan, antara lain Acil Bimbo (LSM Bandung Spirit), Hawe Setiawan, dan Harry Roesli.

Namun menarik untuk dicermati bahwa pertarungan kepentingan di antara pihak-pihak tersebut bukanlah pertarungan antara pihak elit (eksekutif dan legislatif) dengan pihak massa karena di dalam tubuh legislatif sendiri tidak semuanya pro maupun kontra dengan kebijakan tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh Fraksi PAN dan Fraksi KBB yang tidak sepenuhnya setuju. Demikian pula di pihak massa, kalangan akademisi ada menyetujui dan ada pula yang menolak. Dengan demikian, pertarungan kepentingan yang berlangsung adalah antara pihak yang pro dan pihak yang kontra dengan kebijakan pengembangan kawasan Babakan Siliwangi. Masing-masing pihak kemudian membentuk koalisi untuk memperjuangkan diadopsinya kebijakan pilihannya.

Dalam konteks inilah, pertarungan wacana kemudian menjadi relevan untuk digunakan sebagai perspektif dalam analisis kebijakan. Proses kebijakan kemudian dimaknai sebagai proses argumentative turn[6], di mana masing-masing pihak saling mengemukakan argumentasinya untuk memperjuangkan agar kepentingannya diadopsi dalam kebijakan.

Posisi DPRD dalam kasus ini sebenarnya lebih sebagai pengambil kebijakan untuk menentukan dilanjutkan atau tidaknya nota kerja sama antara Pemerintah Kota Bandung dengan PT EGI. Namun justru posisi strategis inilah yang menempatkan DPRD menjadi rentan akan proses negosiasi dan lobby yang mengarah pada oligarkhi pengambilan keputusan. Oleh karena itu, kajian mengenai pertarungan wacana yang terjadi selama pembahasan di DPRD menjadi relevan untuk melihat sejauhmana DPRD mampu bersikap netral dan menempatkan dirinya sebagai arena pertarungan berbagai kepentingan untuk menghasilkan kepentingan publik[7].

Pemerintah Kota Bandung memiliki kepentingan dalam penataan kawasan Babakan Siliwangi, terutama kepentingan ekonomi untuk meningkatkan PAD dari sektor perdagangan. Materi argumen yang diajukan Pemerintah Kota Bandung adalah kenyataan bahwa selama ini Rumah Makan Babakan Siliwangi yang dikelola Pemerintah Kota tidak menghasilkan keuntungan bahkan sebaliknya memerlukan subsidi setiap tahunnya. Dalam gagasan yang dikemukakan Walikota secara eksplisit dinyatakan keinginan untuk mengembangkan kawasan Babakan Siliwangi sebagai pusat perdagangan komersial yang bernuansa alam. Target utama dari konsep ini adalah mengembangkan Babakan Siliwangi sebagai lahan yang luas untuk memajang produk-produk seni dan mode[8]. Bahkan kemudian juga dilengkapi dengan pembangunan kawasan apartemen (kondominium) dan gelanggang kawula muda. Namun, pada prinsipnya, Pemerintah Kota Bandung tetap mempertahankan kelestarian alam di kawasan Babakan Siliwangi yang diperlukan sebagai nilai tambah untuk meningkatkan daya tarik kawasan tersebut.

Kepentingan inilah yang kemudian mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk mencari investor yang mampu memberi modal bagi realisasi gagasan yang diajukan Pemerintah Kota. Adalah wajar jika Pemerintah Kota kemudian memilih PT EGI sebagai mitra berdasarkan tawaran kontribusi yang sangat menggiurkan bagi PAD Kota Bandung sebesar Rp 2,5 milyar pada lima tahun pertama dan terus bertambah 10% pada lima tahun berikutnya dalam jangka waktu 25 tahun. PT EGI sebagai penanam modal jelas berkepentingan untuk memperoleh laba dari investasi ini. Namun kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan di kawasan Babakan Siliwangi patut dipertanyakan ketika dalam presentasinya di hadapan Pansus DPRD, ternyata PT EGI mendesakkan perlunya dilakukan pengendalian atau penataan pohon-pohon di kawasan Babakan Siliwangi[9]. Hal ini perlu dilakukan untuk menghasilkan lahan yang cukup luas dan lapang bagi pembangunan kompleks cottage. Selain ada rumah makan dan pusat kesenian, juga akan dibangun hunian untuk mahasiswa dan dosen yang bernama Graha Priangan. Bangunan ini berupa kondominium (apartemen) berlantai 24. Penggunaan istilah pengendalian atau penataan pepohonan di Babakan Siliwangi inilah yang kemudian memicu persepsi negatif di kalangan pemerhati lingkungan hidup sehingga timbul kekhawatiran terjadinya pengrusakan hutan kota tersebut.

Kekhawatiran ini ternyata tidak terungkap dalam pembahasan di DPRD. Rapat Pansus maupun Pamus hanya membahas dan menghasilkan keputusan mengenai luas lahan yang diperbolehkan dibangun (sebesar 7.375 m² dari luas keseluruhan sebesar 38.214 m²), besaran kontribusi yang disepakati, dan aturan main yang harus disepakati antara Pemerintah Kota dengan PT EGI. Berdasarkan poin-poin keputusan ini, tampak bahwa permasalahan subtantif berkenaan dengan isu ekologis belum mendapatkan ruang yang memadai dalam pembahasan. Sejumlah anggota DPRD sepakat dengan gagasan untuk mengelola Babakan Siliwangi sebagai salah satu aset Pemerintah Kota untuk menambah PAD, sebagaimana digambarkan dalam pernyataan berikut ini “Sayang kan kalau aset Pemkot Bandung tersebut hanya terhampar tanpa ada hasil maksimal yang dapat memberikan manfaat bagi proses pembangunan Kota Bandung”[10]. Dari pernyataan ini, secara implisit terkandung makna adanya pandangan bahwa kawasan Babakan Siliwangi merupakan kawasan yang tidak terurus dan tidak dapat memberikan keuntungan yang maksimal secara ekonomi. Persepsi dari sudut ekonomi ini tidak mempertimbangkan kegunaan Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau yang penting bagi paru-paru kota. Hal inilah yang menimbulkan pertentangan dengan beberapa anggota DPRD lainnya yang keberatan dengan rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi karena menganggap kawasan tersebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang di atasnya tidak boleh didirikan bangunan apalagi bangunan tinggi seperti hotel atau apartemen[11]. Persepsi ini berangkat dari kepentingan ekologis yang tidak memandang kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan terlantar tapi lebih sebagai hutan kota sehingga wajar jika terdapat banyak hamparan pepohonan. Itulah sebabnya baik dalam Pansus maupun Pamus tidak berhasil dicapai kesepakatan penuh. Pro dan kontra di kalangan anggota DPRD ini juga dibenarkan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, H.E. Warso, melalui pernyataannya “Saya tahu banyak anggota DPRD Kota Bandung yang setuju dengan rencana penataan ini, namun ada juga beberapa yang tidak setuju”[12]. Pernyataan ini mengandung makna bahwa sesungguhnya DPRD sebagai arena pengambilan keputusan juga ternyata tidak sepenuhnya netral dan otonom dari berbagai kepentingan. Bahkan mayoritas anggota DPRD ternyata lebih memandang kebijakan penataan Babakan Siliwangi dari perspektif pragmatis-ekonomis. Hal ini diperkuat oleh pernyataan H.E. Warso, bahwa jika dalam pengambilan keputusan di DPRD digunakan voting maka kemungkinan besar akan dimenangkan oleh pihak yang setuju[13].

Wacana perdebatan kemudian berkembang menjadi pertentangan antara isu ekonomi dengan isu ekologi. Isu ekologi yang berkembang tidak lagi sebatas Babakan Siliwangi sebagai ruang hijau terbuka namun melebar menjadi daerah resapan air. Pihak Pemerintah Kota (c.q Bappeda) dan anggota DPRD yang pro berkoalisi dan mencari dukungan ilmiah dari kalangan akademisi. Demikian pula, anggota-anggota DPRD yang kontra berkoalisi dan membangun opini publik melalui pemberitaan di media massa untuk memobilisasi dukungan dari kalangan pemerhati lingkungan. Terbentuknya koalisi ini tersirat dari pernyataan anggota DPRD Hj. Uce Salya, yang mengatakan “Karena saya merasa akan ‘kalah’ di DPRD, saya akhirnya berkonsultasi dengan Bandung Spirit untuk masalah rencana penataan kawasan Babakan Siliwangi…”[14] (garis bawah dari penulis). Penggunaan kata “berkonsultasi” dalam pernyataan di atas secara implisit mengandung makna yang lebih dari sekedar meminta masukan jika dikaitkan dengan konteks kalimat sebelumnya, yakni adanya perasaan akan ‘kalah’ dalam perdebatan di DPRD. Dalam konteks ini, konsultasi dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk memperoleh dukungan agar ‘menang’ di DPRD.

Perdebatan antara koalisi yang pro dan yang kontra ini tampak dalam dengar pendapat (hearing) yang diselenggarakan DPRD. Dalam hearing tersebut, Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD, Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A., Ph.D menolak rencana pembangunan di Babakan Siliwangi karena jelas akan mengurangi ruang terbuka hijau di Kota Bandung dan implikasinya terhadap peningkatan PAD pun belum dapat dipastikan karena harus diperhitungkan apakah hasil yang diperoleh dari Babakan Siliwangi itu adalah PAD “bersih” atau “kotor” (belum termasuk biaya-biaya bagi dampak sosial, budaya, dan lingkungan)[15]. Pendapat ini kemudian didukung oleh kelompok-kelompok masyarakat seperti Sesepuh Kota Bandung, kalangan akademisi, mantan anggota DPR RI, dan seniman yang kembali mempertegas penolakan pembangunan kawasan Babakan Siliwangi karena daerah tersebut merupakan daerah resapan air. Sebagai counter dari opini yang berkembang, Bappeda kemudian mengundang pakar dari ITB untuk memaparkan hasil kajian ilmiah mengenai kondisi Babakan Siliwangi. Hasil kajian para pakar ITB ternyata mengungkapkan bahwa Babakan Siliwangi bukan daerah resapan air melainkan daerah I atau tempat keluarnya air karena lapisan tanah di Babakan Siliwangi merupakan sejenis tanah lempung yang membuat air tidak menyerap ke lapisan bawah. Jadi air hujan yang turun di daerah tersebut akan langsung dialirkan ke bawah menuju Sungai Cikapundung[16].

Dalam tahapan ini, wacana perdebatan mulai bergeser menjadi apakah Babakan Siliwangi merupakan daerah resapan air atau bukan. Namun, ada wacana yang kemudian menjadi terpinggirkan yakni dampak yang akan ditimbulkan apabila isi (content) dari kebijakan tersebut diterapkan. Wacana inilah yang kemudian dibangkitkan oleh kelompok akademisi, antara lain dari UNPAD, ITB, dan UNPAS beserta LSM-LSM pemerhati lingkungan, seperti Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, yang mengungkapkan bahwa pembangunan kondominium di Babakan Siliwangi dapat merusak kawasan sekitar yang merupakan lembah alam. Selain itu, rencana pembangunan kondominium di daerah tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan, antara lain PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang mengharuskan persentase hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan; Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Konservasi yang menyatakan bahwa sekitar 100 meter dari sungai tidak boleh ada bangunan. Jadi, pembangunan kondominium itu jelas melanggar aturan karena lokasinya tidak sampai 100 meter dari Sungai Cikapundung. Kenyataan ini membuktikan bahwa proses formulasi kebijakan seringkali tidak memperhatikan kebijakan-kebijakan yang telah ada, apalagi jika kemudian kebijakan yang telah ada ternyata bertentangan dengan kepentingan yang ingin dicapai pada masa sekarang, baik kepentingan investor maupun kepentingan Pemerintah Kota. Aspek legalitas-administratif yang seringkali digunakan sebagai landasan oleh Pemerintah Kota ternyata terbentur dengan materi kebijakan yang telah ada, bahkan dengan kebijakan di tingkat lokal, seperti Rencana Dasar Tata Ruang Kota Bandung No. 2 Tahun 1992, 1996, dan 2002 yang mengatur peruntukkan lahan di Kota Bandung dan semestinya diketahui oleh Bappeda sebagai lembaga yang paling berperan dalam penyusunannya.

Berkembangnya kontroversi penataan Babakan Siliwangi dalam ruang publik ini drespon oleh Pemerintah Kota Bandung dengan menyurati dua lembaga pendidikan tinggi negeri di Bandung, yakni ITB dan UNPAD, yang isinya permintaan bantuan berupa masukan untuk masalah Babakan Siliwangi. Akademisi ITB diminta memberi masukan dalam hal penataan dan pemanfaatan tata ruang sedangkan UNPAD diminta memberi masukan masalah yang berkaitan dengan dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam surat bernomor 650/695-Bapp (4 Maret 2003) disebutkan bahwa rencana Pemerintah Kota dalam penataan Babakan Siliwangi dilakukan dengan mempertahankan semaksimal mungkin kondisi hijau yang telah ada, mengefektifkan lahan yang telah terbangun serta mengembangkan nilai tambah bagi PAD Kota Bandung. Ditinjau dari materi suratnya, tampak ada upaya Pemerintah Kota untuk mengakomodasi tuntutan publik yang berkaitan dengan isu ekologis dan dampak kebijakan namun di sisi lain, tidak menjelaskan mengenai kelanjutan rencana pembangunan kondominium. Padahal isu tersebut merupakan salah satu wacana yang menimbulkan kontroversi dan penolakan publik yang tersirat dari jargon yang dikemukakan kalangan seniman “kondom yes, kondominium no”. Jargon ini memang terkesan sinis namun mengandung makna yang jelas akan penolakan gagasan pembangunan kondominium yang akan menganggu arus hidrologis.

Pihak DPRD sendiri dalam menyikapi berkembangnya pertarungan wacana di ruang publik ini kemudian berinisiatif mengistirahatkan Pansus untuk selanjutnya pembahasan mengenai LK Penataan Kawasan Babakan Siliwangi itu akan diambil alih oleh Panmus agar pembahasan menjadi lebih komprehensif karena melibatkan seluruh ketua komisi dan fraksi serta pimpinan DPRD[17]. Selanjutnya, sebagai respon terhadap banyaknya tuntutan public hearing maka DPRD akan mengadakan uji publik dengan mengundang para pihak yang terkait, termasuk para seniman yang selama ini berada di lingkungan Babakan Siliwangi. Pelaksanaan uji publik ini akan dilakukan setelah ada masukan dari ITB dan UNPAD[18].

Berdasarkan proses pertarungan wacana (argumentative turn) yang diuraikan di atas, tampak bahwa proses kebijakan bukanlah proses yang berlangsung dalam black box (arena DPRD), akan tetapi juga sangat kental dengan nuansa pertarungan kepentingan antar aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa proses kebijakan merupakan complexly inter-active process without beginning or end[19]. Pertarungan kepentingan dalam perspektif argumentative turn tidak dilihat dari penggunaan atribut kekuasaan, seperti jabatan atau kewenangan tapi lebih pada kompetensi keilmuan yang digunakan para akademisi dan pemerhati lingkungan untuk membangun opini publik melalui isu lingkungan.


Identifikasi Ruang Publik dalam Proses Argumentative Turn

Di samping berlangsungnya pertarungan wacana, juga menarik untuk dikaji mengenai ketersediaan ruang publik yang terbuka dalam memfasilitasi proses argumentative turn dari pihak DPRD, Pemerintah Kota, maupun kelompok masyarakat yang secara bebas menggunakan berbagai media untuk mengemukakan argumentasinya.

Dari sejumlah ruang publik yang tersedia, beberapa di antaranya yang dapat teridentifikasi adalah[20] :

1. Pemberitaan di media cetak (surat kabar lokal).

Isu kebijakan penataan kawasan Babakan Siliwangi telah mulai dipublikasikan di media cetak sejak September 2002 dalam bentuk pemberitaan mengenai pembentukan Pansus Babakan Siliwangi untuk membahas berbagai hal yang berhubungan dengan rencana penataan kawasan tersebut termasuk kontribusi pengelola kepada Pemerintah Kota sebagai pemilik lahan. Dalam artikel yang dimuat Pikiran Rakyat tanggal 17 September 2002, juga sudah mulai muncul isu ekologis yang dikemukakan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung (H. Idris Yusuf Lubis) yang mengatakan agar penataan kawasan Babakan Siliwangi tidak disertai dengan penebangan satu pohon pun dan tidak membuat bangunan yang mengurangi wilayah tangkapan air. Media cetak juga secara rutin memuat perkembangan pembahasan kebijakan di DPRD termasuk adu argumentasi yang dikemukakan, mulai dari isu ekonomi (peningkatan PAD) yang direspon dengan isu ekologis (masalah RTH, daerah resapan air atau bukan), dan pada akhirnya berkembang isu baru berkaitan dengan dampak (efek samping) dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dalam periode September 2002 – 28 Maret 2003, dimuat sejumlah artikel mengenai Babakan Siliwangi dengan tema yang hampir sama yakni berkaitan dengan pelestarian alamnya dan konsep pengembangan Babakan Siliwangi sebagai kawasan wisata alam[21]. Penulis artikel pun berasal dari latar belakang yang beragam, namun umumnya akademisi.

Meskipun demikian, ditinjau dari penempatan berita atau artikelnya hampir semuanya tidak sebagai headline namun tetap menarik perhatian pembaca karena dimuat dalam lembaran khusus Bandung Raya dengan ukuran judul yang besar, kecuali pemberitaan mengenai diskusi dan jajak pendapat yang dilakukan Pikiran Rakyat dimuat di halaman depan. Posisi penempatan ini dapat diinterpretasikan sebagai ukuran kepedulian media cetak terhadap isu tersebut.

2. Hearing dengan DPRD Kota Bandung (20 Januari 2003).

Wacana yang muncul dalam hearing adalah pembangunan Babakan Siliwangi akan mengurangi ruang terbuka hijau. PPSDAL UNPAD yang diundang dalam hearing tersebut mengemukakan argumen bahwa pembangunan hotel, apartemen, restoran, butik, gelanggang remaja, dan gedung budaya di kawasan tersebut akan mengubah penggunaan lahan yang ada, yang semula RTH dengan sedikit bangunan menjadi RTH dengan banyak bangunan dan banyak kegiatan. Implikasinya adalah penyempitan RTH/taman, berkembangnya usaha di sekitar Babakan Siliwangi yang akan menimbulkan kekacauan tata ruang dan berpotensi menimbulkan kemacetan.

Wacana lain yang muncul berkaitan dengan potensi ekonomi Babakan Siliwangi. Pengembangan Babakan Siliwangi dan tumbuhnya usaha komersil di daerah sekitarnya dipastikan akan memberikan nilai tambah bagi PAD, tapi harus dianalisis lebih rinci apakah PAD yang masuk adalah PAD “bersih” atau “kotor”. Hal ini harus dilakukan agar jangan sampai PAD yang diterima tidak sebanding dengan biaya kerusakan lingkungan yang diakibatkan.

3. Diskusi tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dengan pembangunan dan lingkungan Kota Bandung (22 Januari 2003).

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, antara lain Dindin S. Maolani (pakar hukum), Budi Radjab (UNPAD), Deden Sambas (Ketua Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi), Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, M.Sc. (ITB), S. Sobirin (anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda), serta Acil Bimbo (budayawan - Ketua Bandung Spirit).

Hasil pertemuan ini adalah penolakan terhadap rencana pengembangan Babakan Siliwangi dengan argumen tentang RTH dan keterkaitan antara PAD dengan lingkungan.

4. Pertemuan para seniman Kota Bandung dengan Komisi D DPRD Kota Bandung di Gedung DPRD (3 Februari 2003).

Kedatangan para seniman[22] dimaksudkan untuk meminta kesediaan anggota dewan memfasilitasi rapat dengar pendapat (hearing) secara terbuka untuk umum dan bersifat transparan mengenai rencana pengembangan Babakan Siliwangi. Hearing yang dihadiri seluruh pihak terkait ini diperlukan agar ada kejelasan mengenai rencana Pemerintah Kota sehingga keputusan yang diambil bisa kredibel dan akuntabel.

5. Pertemuan Bappeda Kota Bandung dengan para pakar ITB di Kantor Bappeda (14 Februari 2003).

Acara ini diselenggarakan untuk mengetahui hasil kajian ilmiah yang dilakukan ITB mengenai kondisi Babakan Siliwangi. Dalam pertemuan ini, muncul counter argument dari Lambok Hutasoit bahwa Babakan Siliwangi bukan daerah resapan air. Demikian pula, bahwa hutan kota Babakan Siliwangi bukan merupakan hutan alami melainkan hutan buatan sehingga jika dilakukan penebangan maka bisa dilakukan penanaman kembali atau dilakukan dengan cara memindahkan pohon tanpa penebangan (menggunakan crane). Hasil kajian ilmiah inilah yang kemudian digunakan oleh Bappeda sebagai dasar teoretis untuk memperkuat konsep yang diajukannya. Hasil kajian ini diinterpretasikan sepintas bahwa pembangunan kondominium tidak akan mengganggu pasokan air bagi warga Bandung. Tapi sesungguhnya counter argument ini tidak merespon isu tentang penyempitan RTH maupun dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan bila dilakukan pembangunan di kawasan tersebut.

6. Diskusi “Mimbar Keprihatinan Babakan Siliwangi” yang diadakan Solidaritas Seniman Siliwangi (16 Februari 2003).

Diskusi ini dihadiri oleh kalangan LSM, legislatif, dan akademisi. Wacana baru dimunculkan dengan mengaitkan rencana pembangunan kondominium dengan pelanggaran terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ada mengenai persentase hutan kota, konservasi, dan tata ruang kota (perspektif yuridis terhadap rancangan kebijakan Babakan Siliwangi).

7. Diskusi “Tinjauan Kritis terhadap Rencana Pengembangan Babakan Siliwangi” yang diadakan HU Pikiran Rakyat (22 Februari 2003).

Kegiatan ini dihadiri oleh unsur akademisi, Bappeda, anggota DPRD, pemerhati lingkungan hidup, dan kalangan budayawan.

Dalam diskusi ini, wacana perdebatan mulai bergeser tidak lagi sekedar isu ekologis tapi juga mulai membahas mengenai dampak yang ditimbulkan, termasuk biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus diperhitungkan sebagai konsekuensi pelaksanaan kebijakan, termasuk rencana pembangunan kondominium.

8. Jajak pendapat (pooling) melalui telepon terhadap masyarakat Kota Bandung yang diadakan oleh Litbang Redaksi HU Pikiran Rakyat (23 Februari 2003).

Jajak pendapat terhadap 500 responden warga Kota Bandung dimaksudkan untuk mengetahui penilaian publik terhadap rencana pembangunan kondominium termasuk alasannya bagi yang pro maupun yang kontra.

Hasil yang cukup menarik dari jajak pendapat ini adalah masyarakat sebenarnya menyesalkan terjadinya silang pendapat para ahli mengenai Babakan Siliwangi yang berkaitan dengan resapan air atau bukan. Muncul dugaan dari masyarakat bahwa Pemerintah Kota tidak memiliki data yang jelas mengenai kondisi kawasan Babakan Siliwangi. Namun di sisi lain, ada juga dugaan bahwa Pemerintah Kota sengaja tidak mengungkapkan data yang sebenarnya untuk kepentingan pemerintah sendiri.

Dari segi kuantitatif, ruang publik yang tersedia cukup memadai untuk menampung adu argumentasi dari berbagai pihak. Pihak yang terlibat dalam ruang publik tidak hanya dibatasi pada kalangan elit (eksekutif, legislatif, akademisi, budayawan, LSM) tapi juga masyarakat umum yang aspirasinya tertampung melalui jajak pendapat. Di sisi lain, sikap pengambil keputusan (DPRD) juga cukup akomodatif dalam mengakomodasi aspirasi yang masuk. Hal ini tampak dari diadakannya hearing dan penerimaan delegasi kelompok masyarakat oleh DPRD, termasuk rencana pelaksanaan public hearing. Ada satu keputusan yang cukup penting namun akomodatif yang diambil DPRD yakni dengan mengistirahatkan Pansus dan menggantinya dengan Pamus sehingga pembahasan tidak terjebak dalam oligarkhi pengambilan keputusan.


Penutup :
Proses Perubahan Kebijakan Penataan Kawasan Babakan Siliwangi


Pergeseran dan kompleksitas wacana yang berkembang menunjukkan perspektif yang beragam dari publik mengenai suatu kebijakan. Dalam formulasi kebijakan, hal ini sangat penting sebab pengenalan publik atas kenyataan kebijakan yang beragam kemudian akan memperkaya sudut pandang dari kebijakan yang dibuat[23]. Tahap ini memberi ruang bagi akomodasi pengenalan publik terhadap konteks kebijakan yang akan dibuat.

Ketersediaan ruang publik juga dapat dimaknai sebagai proses advokasi terhadap materi kebijakan. Peran inisiator dalam advokasi substansi kebijakan dilakukan oleh kalangan akademisi dengan memunculkan counter issue sehingga pembahasan dalam DPRD tidak terjebak dalam aspek teknis yang cenderung mengarah pada pertimbangan ekonomis-pragmatis. Di sisi lain, advokasi juga dilakukan dalam bentuk merumuskan dan menyampaikan konsep-konsep tandingan yang membekali para aktivis berpartisipasi dalam merumuskan ulang kebijakan[24].

Peran broker (mediator) antara koalisi pro dan koalisi kontra terhadap kebijakan justru difasilitasi oleh media cetak, antara lain Pikiran Rakyat yang cukup berperan dalam mengadakan diskusi dan jajak pendapat sebagai wadah yang mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Proses pertarungan wacana yang berlangsung secara lisan maupun tulisan yang kemudian dimuat dalam media cetak dapat digunakan oleh para pihak yang berkonflik sebagai media untuk melakukan respon sehingga wacana yang berkembang tidak terhegemoni oleh salah satu pihak.

Masuknya ide di luar pemerintah dalam agenda kebijakan juga menunjukkan tidak adanya hegemoni dalam proses politik. Peran kalangan akademisi sebagai kaum intelektual sangat besar dalam menciptakan counter hegemony terhadap konsep yang disampaikan pemerintah. Dalam kasus ini, isu penyempitan RTH dan dampak pembangunan kondominium merupakan wacana yang berhasil dimasukkan ke dalam agenda pembahasan DPRD untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Masuknya wacana ini membawa perubahan dalam proses pembahasan maupun substansi kebijakan. Dalam pembahasan semula, DPRD sudah hampir menyetujui Lembaran Kota kemitraan antara Pemerintah Kota dan PT EGI dengan pertimbangan keuntungan finansial namun masuknya isu penyempitan RTH dan dampak pembangunan kondominium menyebabkan Pemerintah Kota kemudian meminta masukan lanjut dari kalangan akademisi untuk memperbaiki substansi kebijakan.

Belajar dari kasus ini, proses kebijakan ternyata juga dapat dipahami sebagai proses pertarungan wacana antara pihak-pihak yang berkepentingan. Proses formulasi kebijakan tidak hanya mencakup negosiasi antar elit dalam arena DPRD karena ternyata wacana dan perdebatan yang berkembang di tingkat publik dapat menarik keluar proses pembahasan tersebut ke dalam ruang publik dan pada akhirnya publik dapat mendesakkan masuknya kepentingan publik yang lebih rasional ke dalam kebijakan tersebut. Pertarungan wacana ini juga sekaligus merefleksikan pertarungan rasionalitas antara pihak yang pro maupun yang kontra terhadap substansi kebijakan. Dan konsensus yang ditempuh untuk melakukan uji publik yang lebih komprehensif merupakan jalan tengah yang membuka peluang bagi proses kebijakan yang lebih partisipatif.


Pustaka Rujukan

Anonim. “Menguak Rencana Babakan Siliwangi”. Artikel Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

Fadillah Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Glendon Schubert. 1966. Is There a Public Interest Theory ?. New York : Atherton Press.

Mansour Fakih, Roem Topatimasang, dan Rahardjo (eds). 2000. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Peter deLeon. “The Policy Science Redux : New Roads to Postpositivism”. Policy Studies Journal Vol. 22 No. 1. 1994.

Purwo Santoso. “Proses Kebijakan, Karakteristik, dan Advokasinya”. Makalah. Disampaikan dalam Pelatihan Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World Bank, 11 – 20 September 2002.

Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2002.

_____, 18 Desember 2002.

_____, 21 Januari 2003.

_____, 15 Februari 2003.

_____, 18 Februari 2003.

_____, 20 Februari 2003.

_____, 11 Maret 2003.

_____, 28 Maret 2003.

[1] Tercatat ada 8 proposal yang masuk dengan berbagai macam penawaran bagi hasil keuntungan, mulai dari kontribusi sebesar Rp 100 sampai dengan 125 juta per tahun. Bahkan ada pula investor yang tertarik untuk mengembangkan kawasan tersebut sesuai dengan proposal yang diajukan oleh konsultan Pemerintah Kota Bandung dari ITB dengan kontribusi bagi Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 500 juta per tahun untuk lima tahun pertama dan sebesar Rp 800 juta per tahun untuk 25 tahun berikutnya sehingga kontrak tersebut berlaku selama 30 tahun dengan total kontribusi sebesar Rp 22,5 milyar. (“Menguak Rencana Babakan Siliwangi”. Artikel Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[2] Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2002.

[3] Pikiran Rakyat, 18 Desember 2002.

[4] Isu ini antara lain dikemukakan oleh Prof. Surna T. Djayadiningrat (Guru Besar ITB), Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A., PhD (Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan UNPAD), Prof. Otto Soemarwoto (pakar lingkungan hidup), dan didukung oleh berbagai kalangan akademisi, tokoh masyarakat, bahkan kalangan budayawan.

[5] Sebagaimana dikemukakan Lambok M. Hutasoit (Ketua Departemen Teknik Geologi ITB), Sudarto Nitisiswoyo (Dosen Departemen Teknik Pertambangan ITB), Budi Rijanto (Staf Ahli Wakil Rektor ITB Bidang UMR), Dr. Taufikurhaman (Departemen Biologi ITB), serta Prof. M. Danisworo (Ketua Pusat Studi Urban Desain ITB).

[6] Pendekatan ini dikemukakan oleh Fischer dan Forester untuk menganalisis kebijakan sebagai proses praktis dari argumentasi. Analisis kebijakan ditekankan pada pengertian-pengertian istilah sosiologis, yaitu karakter retorika dalam konteks spesifik yang meliputi makna dari argumen maupun isu yang dikemukakan. Lebih lanjut dapat dibaca dalam Peter deLeon. “The Policy Science Redux : New Roads to Postpositivism”. Policy Studies Journal Vol. 22 No. 1. 1994.

[7] Konsepsi kepentingan publik memiliki banyak makna tergantung dari perspektif yang digunakan. Glendon Schubert (1966) menawarkan 3 perspektif untuk mengidentifikasikan kepentingan publik, yakni (1) perspektif rasionalis yang mengatakan bahwa kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada (kepentingan publik sama dengan kepentingan mayoritas); (2) perspektif idealis yang mengatakan bahwa kepentingan publik adalah hal yang luhur sehingga tidak boleh direka-reka; (3) perspektif realis yang memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan sehingga tidak ada kepentingan yang lebih dominan. Lihat lebih lanjut dalam Glendon Schubert. Is There a Public Interest Theory ?. New York : Atherton Press. 1966.

[8] Pernyataan Walikota Aa Tarmana dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[9] Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003.

[10] Pernyataan anggota Fraksi Partai Golkar, H. Yod Mintaraga (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[11] Sebagaimana dinyatakan oleh Hj. Uce Salya, anggota Pansus dan Pamus Babakan Siliwangi dalam Pikiran Rakyat, 18 Desember 2002.

[12] Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[13] Ibid.

[14] Dalam Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[15] Pikiran Rakyat, 21 Januari 2003.

[16] Sebagaimana dinyatakan Ir. Lambok M. Hutasoit, Ph.D (Ketua Departemen Teknik Geologi ITB) yang dikutip oleh Pikiran Rakyat, 15 Februari 2003.

[17] Pikiran Rakyat, 18 Februari 2003.

[18] Hingga makalah ini ditulis (akhir Mei 2003), uji publik tersebut belum dilaksanakan karena masih menunggu masukan dari kedua PTN.

[19] Parsons sebagaimana dikutip Fadillah Putra. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001, hal. 166.

[20] Dalam makalah ini tidak semua ruang publik yang berlangsung dapat diidentifikasi mengingat keterbatasan data dan informasi yang bisa diperoleh penulis, terutama yang berlangsung melalui media radio atau televisi lokal.

[21] Beberapa artikel tersebut adalah Mimpi Babakan Siliwangi (Sampurno - akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 30 Desember 2002); Surat untuk Masyarakat Kota Bandung : Keprihatinan Babakan Siliwangi (Setiaji Purnasatmoko - seniman, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003); Babakan Siliwangi sebagai Kawasan Publik (Budi Rijanto – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Fenruari 2003); Mari Menata Hutan di Kota Kita (Taufikurahman – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003); Babakan Siliwangi : Daerah Resapan Air atau Bukan ? (Lambok M. Hutasoit dan Sudarto Nitisiswoyo – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[22] Di antaranya dihadiri oleh Hawe Setiawan, Benny Yohanes, dan Wawan S. Husin.

[23] Putra, op,cit., hal. 194.

[24] Antara lain konsep yang diajukan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB. Konsep yang diajukan meliputi grand scenario untuk pengembangan kawasan Babakan Siliwangi dengan didasarkan pada studi kelayakan dan kelaikan rencana dalam skala ekonomi mikro sekaligus makro untuk melihat kaitan dengan pengembangan kawasan lain. Dalam hal ini termasuk penetapan ultimate goal dari setiap unsur yang berkegiatan dalam ukuran pencapaian prestasi yang diharapkan. Juga dianalisis mengenai alternatif peruntukkan sarana/prasarana sesuai struktur tata ruang dan karakter lingkungan yang memberikan manfaat berkelanjutan (dalam Budi Rijanto, op.cit).

UNIKOM, 2004
Develop by : Government Science Web Department
Copyright@DS.2004 - All Right Reserved


1 comment:

Nosky said...

heboh sekali
anehnya kami para seniman warga Babakan Siliwangi yang dengan susah payah dan dengan mandiri mempertahankan dan melestarikan tradisi dalam berkesenian sejak dahulu, tidak dilihat. apakah keberadaan kami hanya sebagai objek dalam kasus babakan siliwangi, sama halnya dengan pohon, sumber mata air, domba, musang, tupai, dan landak di area itu. Kamilah yang tahu benar keberadaan tempat ini.
Kita adem-adem aja lho. sampai suatu hari ada seorang sastrawan yang mengenal saya menasihati untuk tidak usah aktif sebagai sukarelawan yang ngurusin seniman. karena katanya warga sanggar harusnya malu sudah dikasih pemerintah tempat itu dan bisa diusir kapan saja. haha....bukannya pemerintah yang musti malu dapat bayaran listrik yang jelas-jelas alamat rekening listrik kami masuk dalam koordinasi sistem birokrasi pemerintah. kami bangun sanggar itu menjadi ruang publik sampai saat ini. bahkan pengamen jalanan yang dulu dibina oleh Harry Rusli, kini berkembang dengan pelatihan di Sanggar hingga mereka sekarang dikontrak di hotel Ritz Carlton....pemerintah tak usah malu...kami juga tak usah malu. tapi yang memalukan adalah usaha-usaha orang-orang yang mempermalukan.....