Sunday, August 26, 2007

FESTIVAL CIBURUY DI TENGAH KEPRIHATINAN

Pikiran Rakyat, Senin 07 Mei 2007, Hazmirullah/”PR”
Foto: Hazmirullah/”PR”, 29 April 2007, Festival Ciburuy 2007

Sobirin dan Tjuk menawarkan konsep balik ka pamiangan. Toh, sebenarnya, orang Sunda memiliki konsep tentang pelestarian alam, dalam hal ini hutan, meski dibalut sistem kepercayaan. Orang Sunda mengenal hutan (leuweung) larangan, tutupan, dan baladaheun.



Leuweung, gunung dibukbak

darat beakeun lahan garapan
situ saateun cikahuripan;
cai beak ciciren manusa caliweura;
rahayat balangsak


RANGKAIAN kalimat itu muncul dan kemudian melatari penyelenggaraan Festival Ciburuy, 28-29 April lalu. Satu keprihatinan terhadap kondisi alam yang rusak parah. ”Urang Sunda bakal keleungitan kabuyutan,” begitu kata Mas Nana Munajat Dahlan, Ketua Panitia Penyelenggara Festival Ciburuy 2007.

Kata kabuyutan, dalam khazanah budaya Sunda, ujar Nana, memiliki cakupan yang luas. Mulai dari gunung, hutan, danau, sungai, segara, hingga lautan. ”Kalau tak segera dilakukan perbaikan, kita pun bakal kehilangan lemah cai,” ujarnya.

Yang menarik, ketika festival itu digelar, ribuan rumah tengah terendam banjir, semeter hingga lebih dari dua meter, di Kota dan Kab. Bandung. Petaka itu terjadi sejak Jumat (27/4) malam. Tak cuma Citarum yang ”mengamuk”. Sungai Cikapundung, Cidurian, Citepus, Cigereleng, Cibeureum, dan Cisangkuy pun turut mengirimkan hembalang air. Kota Majalaya lumpuh. Akses Kota Bandung-Dayeuhkolot, melalui Jalan Mohammad Toha, terputus. Kemacetan terjadi di mana-mana.

Hal yang sama terjadi di Kota Bandung. Kali ini, tak sekadar banjir cileuncang. Sungai Cikapundung meluap. Banjir bandang terjadi. Ratusan rumah di Kel. Pasirluyu (Kec. Regol), Kel. Braga, dan Kel. Burangrang (Kec. Lengkong) terendam banjir. Petaka itu merupakan terbesar dalam 24 tahun terakhir ini. Bencana serupa, terakhir kali, terjadi tahun 1983.

**
FESTIVAL Ciburuy mewujud dalam satu latar keprihatinan. Dan, banjir yang tengah melanda itu menjadi semacam pemicu untuk segera bertindak menyelamatkan lingkungan. Kelestarian hutan menjadi satu keniscayaan. Sawala sesepuh adat menjadi ajang untuk membicarakan persoalan itu. Apalagi, kerusakan hutan di negeri ini sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 3,8 juta hektare hutan.

Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional Greenpeace Asia Tenggara, sebagaimana dilansir Antara, menyatakan bahwa sebanyak 72% intact forest atau hutan asli Indonesia telah musnah. Saat ini, setengah dari yang tersisa terancam keberadaannya, antara lain oleh penerbangan komersial, kebakaran hutan, dan pemukaan hutan untuk kebun kelapa sawit.

Berdasarkan data, luas hutan tinggal 4% di pulau Jawa yang memiliki luas 13.404.500 hektare. Padahal, di dalam ketentuan, titik keamanan minimum yang harus dipertahankan adalah 30%, untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Data dari Badan Planologi Departemen Kehutanan menunjukkan hal yang sama. Lahan kritis di Jawa saat ini diperkirakan sudah mencapai 2.481.208 hektare. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih 9 juta hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa.

Sobirin, dari DPKLTS, menyatakan bahwa Indonesia kehilangan hutan seluas 6 lapangan sepak bola setiap menit. Diperkirakan, kerugian mencapai Rp 83 miliar/hari. Itu berarti, dalam setahun, Indonesia menanggung kerugian --lantaran kerusakan hutan-- mencapai Rp 30 triliun setiap tahun.
Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat? Ia mengatakan, luas hutan di Jawa Barat tak lebih dari 10%. Sebesar 90% kerusakan hutan, menurut dia, disebabkan oleh pencurian kayu dan perambahan hutan. Sementara, 7% disebabkan oleh kebakaran dan 3% disebabkan bencana alam.

Tentu saja, kondisi tersebut berdampak kepada potensi sumber daya air di Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat membutuhkan air 17 miliar meter kubik/tahun. Dengan demikian, potensi stabil ketersediaan air, setiap tahunnya, hanya 20 miliar meter kubik/tahun. Nyatanya, di musim hujan, terjadi surplus persediaan air Jawa Barat. Pada musim itu, ketersediaan air di Jawa Barat mencapai 83 miliar meter kubik. Sementara, pada musim kemarau, terjadi defisit. Ketersediaan air hanya 8 miliar meter kubik.

Tjuk Kuswartojo, pemerhati lingkungan, menuturkan bahwa ada 3 pokok masalah dalam penyelenggaraan lingkungan di negeri ini. Ketiganya, sesungguhnya, saling berkait. Pertama, belum ada atau belum meluasnya pandangan tentang bagaimana lingkungan yang baik. Ini belum mendapat perhatian serius. Kedua, lemahnya tata penyelenggaraan lingkungan di semua arasy (lokal, regional, lokal). Sementara, ketiga, terus bermunculan dan adanya akumulasi kasus-kasus yang belum terselesaikan. Pada masalah inilah, Indonesia menyibukkan dirinya.

**
LALU, bagaimana solusinya?

Sobirin dan Tjuk menawarkan konsep balik ka pamiangan. Toh, sebenarnya, orang Sunda memiliki konsep tentang pelestarian alam, dalam hal ini hutan, meski dibalut sistem kepercayaan. Orang Sunda mengenal hutan (leuweung) larangan, tutupan, dan baladaheun.

Konsep milik masyarakat tradisional ini, sebenarnya, tak jauh berbeda dengan konsep modern yang diusung Indonesia. Negeri ini mengenal adanya hutan konservasi, lindung, dan produksi. ”Wujud bisa sama, rasional, tapi pengendaliannya berbeda,” kata Tjuk.

Sistem tradisional, ujar Tjuk, merupakan produk komunitas alami dari interaksi dan respons panjang terhadap alam. Sistem ini terkemas dalam kepercayaan, mewujud dalam larangan,tabu, pamali. Sistem ini berlaku setempat dan dikawal oleh lembaga lokal yang sangat kuat.

Ada juga sistem modern parsial, yakni produk pemerintah yang digunakan untuk mengendalikan atau melindungi suatu unsur alam, untuk suatu kepentingan. Sistem itu dikemas dengan peraturan perundangan, dikendalikan oleh lembaga pemerintah dengan kekuatan personel polisi, serta diupayakan menjadi gerakan dengan semboyan lestarikan lingkungan.

Ada lagi sistem modern menyeluruh, yakni hasil analisis holistik rasional yang diupayakan menjadi kesepakatan (kontrak sosial) melalui debat dan wacana yang panjang. Sistem ini membutuhkan komitmen luas dan diupayakan menjadi gerakan moral maupun instrumen legal formal yang mengglobal. Pokok persoalan yang diwacanakan adalah pembangunan yang berkelanjutan.

**
SAWALA sesepuh adat tak memperbincangkan sampai sejauh itu. Para sesepuh yang hadir hanya berbicara berdasarkan pengalaman mereka dalam menjaga hutan. Bahwa mereka mengemban amanah leluhur untuk mewariskan hutan. Senjatanya cuma pamali. ”Itu saja yang kami pegang. Toh, paririmbon yang kami punya sudah menjelaskan tentang segala hal,” ungkap Abah Karman, sesepuh masyarakat adat Kampung Naga.

Hutan, bagi masyarakat Sunda, merupakan bagian dari konsep tritangtu. Dan, konsep itu mewujud ke dalam segala aspek kehidupan, mulai dari watak hingga pergaulan. ”Bagi masyarakat Sunda yang hidup dari berladang, hutan merupakan bagian dari kehidupannya. Hutan merupakan kosmos tersendiri,” ujar budayawan Jakob Sumardjo.

Menyaksikan kerusakan hutan, bencana yang terus terjadi, upaya perbaikan lingkungan menjadi satu keniscayaan. Soal ini, Nana Munajat Dahlan, Ketua Panitia Penyelenggara Festival Ciburuy 2007, memiliki ungkapan yang bagus, ”Alam hanya patut dipupusti, bukan digugusti”. (Hazmirullah/”PR”)***

No comments: