Tuesday, August 14, 2007

KEKERINGAN AKIBAT RUSAKNYA EKOSISTEM

Air Bawah Tanah Memprihatinkan
KOMPAS
, Jawa Barat, Selasa, 14 Agustus 2004, MHF

Foto: Sobirin 2006, Kekeringan di Pantura Subang

Anggota DPKLTS, Sobirin, menambahkan, kekeringan adalah masalah kompleks sebagai dampak fenomena alam dan perilaku manusia. Jabar sudah mengalami kekeringan, padahal musim kemarau baru saja mulai.

Bandung, Kompas - Kekeringan yang mulai terjadi di Jawa Barat pada awal musim kemarau lebih banyak diakibatkan rusaknya lingkungan atau ekosistem. Pemerintah seharusnya tegas dalam penegakan aturan tentang konservasi hutan, tanah, dan air.

"Sebagian besar kawasan hulu sungai sudah berubah fungsi menjadi cottage, restoran dan kafe, hotel, tempat wisata, vila, maupun ladang-ladang pertanian. Bahkan, saat ini kerusakan hutan akibat kebakaran pun banyak terjadi," papar Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) Dine Andriani di Bandung, Senin (13/8).

Perubahan tersebut, lanjutnya, telah menyebabkan semakin minimnya kawasan hutan sehingga mengganggu fungsi ekologisnya. Tahun 1994-2001 saja tercatat hutan lindung di Jabar berkurang sekitar 10.6851 hektar (24 persen) dan hutan produksi berkurang sekitar 130.589 (31 persen). Adapun alih fungsi lahan sawah menjadi bukan sawah di Jabar mencapai 165.903 hektar (47 persen) dalam kurun waktu 1999-2001.

Padahal, hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.

Selain kerusakan hutan, kata Dine, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan di Jabar. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran. Eksploitasi secara intensif dan tidak terkendali terutama terjadi di daerah-daerah industri, seperti Cekungan Bandung dan Bodebek. Ini mengakibatkan muka air tanah menurun 0,11 meter-2,43 meter.
Solusinya, harus ada penegakan hukum yang tegas, misalnya tentang izin pembangunan, izin pengambilan air tanah, dan konservasi.

Air bawah tanah

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, menambahkan, kekeringan adalah masalah kompleks sebagai dampak fenomena alam dan perilaku manusia. Jabar sudah mengalami kekeringan, padahal musim kemarau baru saja mulai. Yang paling bijaksana adalah pendekatan strategis yang diawali dengan pemulihan kawasan lindung, reboisasi hutan, penghijauan kembali lahan kritis, dan pembangunan agroforest atau wanatani.

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)Jabar Agus Rachmad membenarkan bahwa Jabar rawan kekeringan. Ini karena terjadi kesenjangan persediaan air antara saat musim hujan dan kemarau. "Perbandingannya 10:1. Saat hujan banjir, dan saat kemarau kekeringan," ujarnya.

Agus setuju bahwa air bawah tanah di Jabar sudah memprihatinkan. Bahkan, pada 2025 diprediksi Cekungan Bandung akan mengalami krisis air jika tidak ada perlakuan yang seimbang antara air permukaan dan air tanah.

Agus berencana menyesuaikan tarif antara air permukaan dan air tanah. Selama ini air tanah yang volume dan kualitasnya jauh lebih bagus hanya dikenai pajak yang jauh lebih murah daripada air PDAM. "Nanti akan diseimbangkan agar orang cenderung memilih PDAM sehingga air bawah tanah bisa lebih terpelihara," katanya. (MHF)

No comments: