Sunday, August 19, 2007

PEMBERIAN IZIN DIOBRAL, BENCANA MENGHADANG

KOMPAS, Teropong, 04 April, 2005, BM Lukita Grahadyarini
Foto: Sobirin 2005, Villa Mengundang Bencana di Lereng KBU

Sobirin menilai, persoalan bencana longsor dan banjir merupakan akumulasi dampak dari kebijakan pemerintah yang mengobral izin. "Pemerintah tidak memerhatikan kondisi lingkungan sebelum menerbitkan izin. Pemerintah cenderung mengobral perizinan," tandasnya.




LEGENDA Sangkuriang yang menyebutkan Bumi Parahyangan sebagai negeri gemah ripah lohjinawi-untuk menggambarkan daerah yang subur makmur-barangkali hanya tinggal ilusi jika menilik kondisi kawasan Bandung saat ini. Dari masa ke masa Bandung kian dipadati oleh permukiman, hotel, pabrik, vila, serta bangunan-bangunan permanen lainnya.

KEBERADAAN bangunan-bangunan megah pun tidak menjadi ukuran bagi kemakmuran penduduknya. Sebaliknya, permukiman kumuh mewarnai sejumlah kawasan, mulai dari bantaran sungai hingga pelosok-pelosok kota.

Bandung yang identik dengan lahan-lahan hijau dan subur, kini semakin kehilangan identitasnya. Pembabatan hutan di kawasan lindung untuk keperluan lokasi permukiman, pabrik, bisnis, dan industri di kawasan Bandung seakan menorehkan identitas baru bagi Bandung yang dulu dijuluki sebagai Kota Kembang.

Berdasarkan data dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), selama kurun waktu 1994-2001 terjadi perubahan besar-besaran terhadap Kawasan Bandung Utara (KBU). Hutan sekunder yang semula luasnya 39.349,3 hektar menjadi tinggal 5.541,9 hektar pada tahun 2001. Sebaliknya, kawasan permukiman di wilayah KBU mengalami peningkatan dari 29.914,9 hektar menjadi 33.025,1 hektar. Peningkatan juga terjadi untuk kawasan industri, dari 2.356,2 menjadi 2.478,8 hektar.

SEMENTARA itu, dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 telah diterbitkan izin lokasi baru kepada tiga pengembang seluas 110,9 hektar, yaitu di kawasan Mintakat Perbukitan Ciwangi, Ciburial, dan Cimenyan. Pada tahun 2004, penerbitan izin lokasi mencapai luas 128,2 hektar untuk lima pengembang.

Maraknya penerbitan izin- izin itu ditengarai sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan di kawasan Bandung, dan pemicu maraknya bencana banjir dan longsor.

Wilayah Dago Pakar yang tergolong sebagai kawasan lindung di luar hutan, misalnya, telah dipadati kompleks permukiman elite, vila, resor, dan restoran. Sejauh mata memandang, pepohonan rindang yang dahulu memenuhi kawasan ini tergantikan oleh bangunan-bangunan berdinding beton.

Di Bandung selatan, kondisinya tidak jauh berbeda. Kepadatan permukiman di sepanjang sempadan Sungai Citarum menyebabkan kawasan ini menjadi rutin terkena banjir. Banjir dengan ketinggian hingga tiga meter berkali-kali mengusik warga, sekalipun tidak turun hujan.

Berdasarkan peruntukannya, kawasan sempadan sungai adalah kawasan di kiri dan kanan sungai yang memiliki manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, mengemukakan, peresapan air hujan di Bandung pada tahun 1960 mencapai 75 persen. Seiring dengan maraknya pembukaan hutan, penebangan hutan, dan pendirian bangunan, air hujan yang meresap ke dalam tanah hanya sekitar 20 persen.

Berdasarkan hasil penelitian Dr Jeddi Widarto dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), patahan lembang yang terdapat di antara Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Malabar memiliki potensi gempa setinggi 6,9 skala Richter. Hal itulah yang menyebabkan bangunan Teropong Bosscha peninggalan masa Belanda didesain sedemikian rupa sehingga mampu menahan gempa dengan kekuatan 7 skala Richter.

PEMERINTAH Kota Bandung mengaku kesulitan untuk menertibkan Kawasan Bandung yang telanjur semrawut. Kepala Seksi Pengusutan Pembongkaran Dinas Bangunan Pemerintah Kota Bandung, Endo Sukanda, mengakui, pembangunan di Kawasan Bandung Utara telah melebihi kapasitas wilayah terbangun.

"Kami telah memutuskan penghentian seluruh kegiatan pembangunan di KBU, sampai ada instruksi lebih lanjut. Tetapi masih banyak pemilik lahan yang main kucing-kucingan dengan aparat untuk tetap melanjutkan pembangunan. Kami memohon arahan dari pimpinan untuk pengendalian kawasan ini," papar Endo.

Saat ini penertiban pembangunan masih diprioritaskan pada kawasan Bandung tengah dan barat yang akan dilintasi delegasi Konferensi Asia Afrika pada peringatan KAA ke-50 pada 24 April mendatang.

Endo menyebutkan, pembongkaran bangunan yang melanggar aturan tidak mudah dilakukan, karena KBU terdapat di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang.

"Kalau bangunan yang menyalahi aturan dibongkar, tentu Pemkot Bandung akan bertanya-tanya, mengapa permukiman di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung, tidak ikut ditertibkan? Penertiban itu kewenangan kepala daerah yang bersangkutan," ungkapnya.

Sobirin menilai, persoalan bencana longsor dan banjir merupakan akumulasi dampak dari kebijakan pemerintah yang mengobral izin kepada pemilik lahan. "Pemerintah tidak memerhatikan kondisi lingkungan sebelum menerbitkan izin. Pemerintah cenderung mengobral perizinan," tandasnya.

KETUA Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia Jawa Barat dan Banten, Lambok Hutasoit, menjelaskan, faktor pemicu longsor di antaranya curah hujan yang tinggi, pembabatan hutan, dan pembangunan permukiman secara tidak terkendali di kawasan berlereng terjal. Beberapa kawasan yang dinilai rawan longsor di KBU, di antaranya Maribaya, Gunung Manglayang, dan Gunung Pulasari di Kabupaten Bandung.

Lambok menilai, Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung hingga saat ini belum memiliki kemauan untuk menata kawasan. Pemerintah tidak tegas dalam melarang pendirian permukiman di kawasan rawan longsor, dan membatasi pendirian permukiman di Kawasan Bandung Utara.

Kepala Laboratorium Perancangan Kota Departemen Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Denny Zulkaidi menilai, pendirian bangunan di sejumlah lahan kritis menuai bencana ketika daya tampung kawasan tidak memadai. Struktur tanah yang tidak mampu menahan bangunan mengakibatkan tanah mudah terkikis sehingga terjadi longsor.

Pembangunan yang tidak terkendali merupakan bukti bahwa pemerintah cenderung hanya menerbitkan izin pembangunan kepada masyarakat, tanpa mengkaji proses pembangunan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Lebih dari itu, tidak ada sosialisasi dan ketegasan dari aparat Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung kepada masyarakat mengenai kawasan yang boleh dan tidak boleh dibangun, serta batasan- batasan pembangunan.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, kapasitas wilayah terbangun yang diizinkan di Bandung Utara tidak boleh melebihi 20 persen.

KEPUTUSAN Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menetapkan bahwa kawasan lindung hanya boleh dibangun prasarana dengan kapasitas dua persen dari luas lahan.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menetapkan bahwa kawasan hutan dengan kemiringan lereng lebih dari 40 persen atau 18 derajat tidak boleh didirikan bangunan.

"Persoalannya klise, pemerintah tidak pernah konsisten mengikuti aturan tata ruang yang telah ditetapkan, dan lemah dalam pengawasan pembangunan. Aturan menjadi sia- sia karena tidak diterapkan secara tegas," papar Denny.

Ironisnya, aturan tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Bangunan di Wilayah Kota Bandung hanya memuat prosedur administratif permohonan izin bangunan dan biaya retribusi. Tetapi, tidak dicantumkan secara jelas wilayah yang disetujui dan tidak disetujui untuk dibangun sehingga masyarakat pun tidak tahu lokasi mana yang boleh dan tidak boleh dibangun.

Kecenderungan mengobral perizinan tanpa disertai pengkajian kawasan, sosialisasi, dan pengawasan pembangunan yang saksama hanya akan menuai kesengsaraan dan menimbulkan lebih banyak korban bencana. Kalau sudah terjadi bencana, pemerintah barulah kalang kabut.

"Sudah saatnya pemerintah belajar untuk menahan diri sehingga tidak gegabah dalam pemberian izin. Tidak semua permohonan izin itu harus disetujui, apalagi pembangunan di lokasi yang rawan bencana," tegas Denny. (BM Lukita Grahadyarini)

No comments: