Thursday, August 30, 2007

RTH KOTA BANDUNG CAPAI: 11,1%

SINDO, BAPEDA Jabar, 12 Februari 2007, Evi Panjaitan
Foto: Dudi Sugandi, PR, 29/8-2007, Pohon Tanjung Tumbang Membawa Korban

“Potensi penghijauan terbesar itu ada di kawasan kompleks permukiman atau pekarangan rumah. Jumlahnya mencapai 29% dari luas kota. Dengan memanfaatkan kawasan ini, luas RTH Kota Bandung dapat bertambah cukup besar,” kata Sobirin.



BANDUNG (SINDO) – Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung baru 6,9% dari total wilayah kota yang luasnya mencapai 16.700 hektare (ha). Karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menargetkan penambahan RTH menjadi 11,1% pada tahun 2008 mendatang.

“Pada masa awal jabatan saya di tahun 2003, RTH di Kota Bandung hanya berkisar 1,48%. Pemkot pun menargetkan penambahan RTH menjadi 10%. Tapi, kita naikkan target menjadi 11,1%,” ujar Wali Kota Dada Rosada dalam acara penghijauan di kawasan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), kemarin. Penambahan RTH tersebut akan diprioritaskan pada lahan krisis hijau.

Diakui Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkam) Kota Bandung Yogi Suparjo, Distamkam akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung untuk memperbaiki, khususnya Kawasan Bandung Utara (KBU). Menurut Yogi,tindakan yang akan dilakukan ketiga dinas antara lain penanaman pohon pelindung.

Selain itu, mereka akan berupaya meminimalisasi upaya masyarakat yang kerap mengalihfungsikan KBU menjadi kawasan pertanian. Untuk tanaman RTH, akan dipilih pohon tanjung. Pasalnya, pohon tersebut tidak mudah patah sehingga cenderung aman bagi masyarakat. Selain itu, pohon tersebut menghasilkan O2 (oksigen) dan cepat menyerap polutan.
“Di samping bisa menjadi pohon pelindung tidak membahayakan, buah pohon tanjung bisa dikonsumsi,” kata Yogi.

(Catatan Sobirin/DPKLTS 30/8-2007: TERNYATA POHON TANJUNG YANG BERUMUR TUA DAN TIDAK DIRAWAT TUMBANG MEMBAWA KORBAN JIWA, 28/8-2007. TIDAK ADA HUJAN, TIDAK ADA ANGIN. MEMANG BETUL-BETUL TIDAK TERAWAT. POHON INI SUDAH ADA SEWAKTU SAYA MAHASISWA ITB. LOKASINYA DEKAT ASRAMA VILLA MERAH, TEMPAT SAYA TINGGAL TAHUN 1968 ).

Beberapa waktu lalu, Pemkot Bandung mendapat saran untuk memaksimalkan pekarangan rumah di kawasan perumahan guna menambah jumlah RTH. Mengenai hal ini Yogi berpendapat, upaya pemanfaatan kawasan permukiman itu sulit dilakukan.

Kendalanya, potensi RTH di wilayah perkotaan hanya 10% saja. Meski seperti itu, pihaknya siap memberi bantuan kepada masyarakat yang ingin menambah RTH di lingkungan masing-masing. “Kami sudah mengeluarkan surat edaran. Siapa pun masyarakat yang ingin menanam pohon tinggal minta saja bibitnya ke Distamkam,” ujar Yogi.

Ide pemanfaatan kawasan permukiman tersebut datang dari pemerhati lingkungan dari Dewan Pemerhati Konservasi dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin. Sebab, dari hasil penelitian Sobirin, potensi RTH terbesar Kota Bandung memang berada di kawasan permukiman. Pemanfaatan kawasan permukiman merupakan upaya yang cukup efektif.

“Potensi penghijauan terbesar itu ada di kawasan kompleks permukiman atau pekarangan rumah. Jumlahnya mencapai 29% dari luas kota. Dengan memanfaatkan kawasan ini, luas RTH Kota Bandung dapat bertambah cukup besar,” kata Sobirin, beberapa waktu lalu. Menurut Sobirin, Kota Bandung belum memaksimalkan menggunakan RTH. RTH hanya berkisar 6,9% padahal potensinya mencapai 49,8%. Melebihi ketentuan dalam PP 63/2002.

(Catatan Sobirin/ DPKLTS, 30/8-2007: Sekarang dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan RTH seluas 30% dari total luas kota. 20% harus disiapkan oleh pemerintah, 10% oleh warga/privat).

“Sebenarnya potensi RTH kita mencapai 8.338,04 ha. Melebihi ketentuan yang mewajibkan pemilikan hutan kota minimal 10%,” ujar Sobirin. Menurut data akhir di tahun 2005, Kota Bandung telah memiliki RTH seluas 1.154,93 ha atau 6,9% dari luas wilayah, terdiri atas 120,53 ha (0,72%) RTH pertamanan dan kebun pembibitan, 132,70 ha (0,79%) RTH pemakaman, dan 901,69 ha (5,39%) RTH jalur hijau. (evi panjaitan)

Read More..

Sunday, August 26, 2007

FESTIVAL CIBURUY DI TENGAH KEPRIHATINAN

Pikiran Rakyat, Senin 07 Mei 2007, Hazmirullah/”PR”
Foto: Hazmirullah/”PR”, 29 April 2007, Festival Ciburuy 2007

Sobirin dan Tjuk menawarkan konsep balik ka pamiangan. Toh, sebenarnya, orang Sunda memiliki konsep tentang pelestarian alam, dalam hal ini hutan, meski dibalut sistem kepercayaan. Orang Sunda mengenal hutan (leuweung) larangan, tutupan, dan baladaheun.



Leuweung, gunung dibukbak

darat beakeun lahan garapan
situ saateun cikahuripan;
cai beak ciciren manusa caliweura;
rahayat balangsak


RANGKAIAN kalimat itu muncul dan kemudian melatari penyelenggaraan Festival Ciburuy, 28-29 April lalu. Satu keprihatinan terhadap kondisi alam yang rusak parah. ”Urang Sunda bakal keleungitan kabuyutan,” begitu kata Mas Nana Munajat Dahlan, Ketua Panitia Penyelenggara Festival Ciburuy 2007.

Kata kabuyutan, dalam khazanah budaya Sunda, ujar Nana, memiliki cakupan yang luas. Mulai dari gunung, hutan, danau, sungai, segara, hingga lautan. ”Kalau tak segera dilakukan perbaikan, kita pun bakal kehilangan lemah cai,” ujarnya.

Yang menarik, ketika festival itu digelar, ribuan rumah tengah terendam banjir, semeter hingga lebih dari dua meter, di Kota dan Kab. Bandung. Petaka itu terjadi sejak Jumat (27/4) malam. Tak cuma Citarum yang ”mengamuk”. Sungai Cikapundung, Cidurian, Citepus, Cigereleng, Cibeureum, dan Cisangkuy pun turut mengirimkan hembalang air. Kota Majalaya lumpuh. Akses Kota Bandung-Dayeuhkolot, melalui Jalan Mohammad Toha, terputus. Kemacetan terjadi di mana-mana.

Hal yang sama terjadi di Kota Bandung. Kali ini, tak sekadar banjir cileuncang. Sungai Cikapundung meluap. Banjir bandang terjadi. Ratusan rumah di Kel. Pasirluyu (Kec. Regol), Kel. Braga, dan Kel. Burangrang (Kec. Lengkong) terendam banjir. Petaka itu merupakan terbesar dalam 24 tahun terakhir ini. Bencana serupa, terakhir kali, terjadi tahun 1983.

**
FESTIVAL Ciburuy mewujud dalam satu latar keprihatinan. Dan, banjir yang tengah melanda itu menjadi semacam pemicu untuk segera bertindak menyelamatkan lingkungan. Kelestarian hutan menjadi satu keniscayaan. Sawala sesepuh adat menjadi ajang untuk membicarakan persoalan itu. Apalagi, kerusakan hutan di negeri ini sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 3,8 juta hektare hutan.

Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional Greenpeace Asia Tenggara, sebagaimana dilansir Antara, menyatakan bahwa sebanyak 72% intact forest atau hutan asli Indonesia telah musnah. Saat ini, setengah dari yang tersisa terancam keberadaannya, antara lain oleh penerbangan komersial, kebakaran hutan, dan pemukaan hutan untuk kebun kelapa sawit.

Berdasarkan data, luas hutan tinggal 4% di pulau Jawa yang memiliki luas 13.404.500 hektare. Padahal, di dalam ketentuan, titik keamanan minimum yang harus dipertahankan adalah 30%, untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Data dari Badan Planologi Departemen Kehutanan menunjukkan hal yang sama. Lahan kritis di Jawa saat ini diperkirakan sudah mencapai 2.481.208 hektare. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih 9 juta hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa.

Sobirin, dari DPKLTS, menyatakan bahwa Indonesia kehilangan hutan seluas 6 lapangan sepak bola setiap menit. Diperkirakan, kerugian mencapai Rp 83 miliar/hari. Itu berarti, dalam setahun, Indonesia menanggung kerugian --lantaran kerusakan hutan-- mencapai Rp 30 triliun setiap tahun.
Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat? Ia mengatakan, luas hutan di Jawa Barat tak lebih dari 10%. Sebesar 90% kerusakan hutan, menurut dia, disebabkan oleh pencurian kayu dan perambahan hutan. Sementara, 7% disebabkan oleh kebakaran dan 3% disebabkan bencana alam.

Tentu saja, kondisi tersebut berdampak kepada potensi sumber daya air di Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat membutuhkan air 17 miliar meter kubik/tahun. Dengan demikian, potensi stabil ketersediaan air, setiap tahunnya, hanya 20 miliar meter kubik/tahun. Nyatanya, di musim hujan, terjadi surplus persediaan air Jawa Barat. Pada musim itu, ketersediaan air di Jawa Barat mencapai 83 miliar meter kubik. Sementara, pada musim kemarau, terjadi defisit. Ketersediaan air hanya 8 miliar meter kubik.

Tjuk Kuswartojo, pemerhati lingkungan, menuturkan bahwa ada 3 pokok masalah dalam penyelenggaraan lingkungan di negeri ini. Ketiganya, sesungguhnya, saling berkait. Pertama, belum ada atau belum meluasnya pandangan tentang bagaimana lingkungan yang baik. Ini belum mendapat perhatian serius. Kedua, lemahnya tata penyelenggaraan lingkungan di semua arasy (lokal, regional, lokal). Sementara, ketiga, terus bermunculan dan adanya akumulasi kasus-kasus yang belum terselesaikan. Pada masalah inilah, Indonesia menyibukkan dirinya.

**
LALU, bagaimana solusinya?

Sobirin dan Tjuk menawarkan konsep balik ka pamiangan. Toh, sebenarnya, orang Sunda memiliki konsep tentang pelestarian alam, dalam hal ini hutan, meski dibalut sistem kepercayaan. Orang Sunda mengenal hutan (leuweung) larangan, tutupan, dan baladaheun.

Konsep milik masyarakat tradisional ini, sebenarnya, tak jauh berbeda dengan konsep modern yang diusung Indonesia. Negeri ini mengenal adanya hutan konservasi, lindung, dan produksi. ”Wujud bisa sama, rasional, tapi pengendaliannya berbeda,” kata Tjuk.

Sistem tradisional, ujar Tjuk, merupakan produk komunitas alami dari interaksi dan respons panjang terhadap alam. Sistem ini terkemas dalam kepercayaan, mewujud dalam larangan,tabu, pamali. Sistem ini berlaku setempat dan dikawal oleh lembaga lokal yang sangat kuat.

Ada juga sistem modern parsial, yakni produk pemerintah yang digunakan untuk mengendalikan atau melindungi suatu unsur alam, untuk suatu kepentingan. Sistem itu dikemas dengan peraturan perundangan, dikendalikan oleh lembaga pemerintah dengan kekuatan personel polisi, serta diupayakan menjadi gerakan dengan semboyan lestarikan lingkungan.

Ada lagi sistem modern menyeluruh, yakni hasil analisis holistik rasional yang diupayakan menjadi kesepakatan (kontrak sosial) melalui debat dan wacana yang panjang. Sistem ini membutuhkan komitmen luas dan diupayakan menjadi gerakan moral maupun instrumen legal formal yang mengglobal. Pokok persoalan yang diwacanakan adalah pembangunan yang berkelanjutan.

**
SAWALA sesepuh adat tak memperbincangkan sampai sejauh itu. Para sesepuh yang hadir hanya berbicara berdasarkan pengalaman mereka dalam menjaga hutan. Bahwa mereka mengemban amanah leluhur untuk mewariskan hutan. Senjatanya cuma pamali. ”Itu saja yang kami pegang. Toh, paririmbon yang kami punya sudah menjelaskan tentang segala hal,” ungkap Abah Karman, sesepuh masyarakat adat Kampung Naga.

Hutan, bagi masyarakat Sunda, merupakan bagian dari konsep tritangtu. Dan, konsep itu mewujud ke dalam segala aspek kehidupan, mulai dari watak hingga pergaulan. ”Bagi masyarakat Sunda yang hidup dari berladang, hutan merupakan bagian dari kehidupannya. Hutan merupakan kosmos tersendiri,” ujar budayawan Jakob Sumardjo.

Menyaksikan kerusakan hutan, bencana yang terus terjadi, upaya perbaikan lingkungan menjadi satu keniscayaan. Soal ini, Nana Munajat Dahlan, Ketua Panitia Penyelenggara Festival Ciburuy 2007, memiliki ungkapan yang bagus, ”Alam hanya patut dipupusti, bukan digugusti”. (Hazmirullah/”PR”)***

Read More..

Friday, August 24, 2007

BALUKAR BAHA KA LULUHUR

Galura, No. 22 Taun 19, Minggu IV, Agustus 2007, Bray
Gambar: Mangle-No.2077, 27/7-2/8-2006, Prabu Siliwangi Waktos Anom

Ku: Sobirin

Kumaha ari ayeuna? Geuning alam katut lingkungan teh henteu someah? Halodo sakeudeung oge, kawas ayeuna, di sababaraha tempat, kaasup di Jawa Barat, taneuhna teh geus bareulah, sawah gahgar tepi ka tatanen teu kapuluk.



Tepi ka taun ieu, taun 2007, umur nagara urang 62 taun. Tapi, sakumaha saur Kang Abdulah Mustappa (Bray, Galura, Minggu III, Agustus 2007) naha geuning kalah jadi papaseaan? Kalah jadi riributan? Kalah jadi penggusuran? Kalah jadi unjuk rasa? Malah kalah jadi maceuhna terorismeu? Simkuring nambahan, naha lingkungan kalah beuki ruksak?


Urang nyoreang deui ka tukang. Karajaan Sunda salila 900 taun, tepi ka runtagna Pajajaran, bisa terus ngadeg, padahal karajaan sejenna mah di Jawa Tengah jeung Jawa Timur teu ngahontal opat abad opat abad acan.


Aya dua hal nu ngalantarankeunana, kahiji, para pamingpin di karajaan Sunda, leupas tina ayana pacongkredan di jero kulawarga karajaan, wijaksanana, adil, jeung nu diperhatikeunana kapentingan rahayat. Kadua, alam jeung lingkunganana ngarojong.


Antara sabab nu kahiji jeung nu kadua gede pisan patalina. Pamingpin nu wijaksana hartina, lian ti merhatikeun rahayatna oge merhatikeun alam jeung lingkungan. Singketna, alam jeung lingkungan teh dipiara, dijaga, dirumat, diriksa, nu kabehanana ka dituna taya lian ti keur kapentingan rahayat. Apan jaman Wastu Kancana, karajaan Sunda nu puseur dayeuhna di Kawali, salila saabad leuwih, teu kacatur aya musibat alam.


Kumaha ari ayeuna? Geuning alam katut lingkungan teh henteu someah? Halodo sakeudeung oge, kawas ayeuna, di sababaraha tempat, kaasup di Jawa Barat, taneuhna teh geus bareulah, sawah gahgar tepi ka tatanen teu kapuluk. Urang teh keuna ku musibah kekeringan. Sual tigerat ku cai ieu rea nu teu sadar. Pangna kitu lantaran ayana tigerat ku cai teh henteu ujug-ujug, henteu instan, lumangsungna lalaunan. Ku kituna kekeringan teh mindeng disebut bencana yang merangkak atawa creeping disaster.


Cai kurang alatan alam jeung lingkungan teu mampuh nyumponan pangabutuh manusa. Komo lamun alam jeung lingkunganana geus ruksak mah, kawas kaayaan di urang kiwari. Tambah deui, ku sabab dibebereg ku pangabutuh, ayeuna mah patani teh rea nu henteu merhatikeun iklim. Rek halodo, sawah nu usum halodo sok kagaringan, dipelakan pare. Nu matak jaman Mang Ihin Gubernur Jawa Barat, patani nu melak pare di sawah nu usum halodo sok kagaringan, parena the sina dicabutan deui. Tangtu patani teh dibere kompensasina.


Tigerat ku cai tepi ka lahan tatanen gahgar teu bisa diungkulan ku nyieun situ, ngabendung walungan. Buktina wae situ-situ nu aya ayeuna, caina, halodo kakaerk sababaraha poe oge, langsung nyirorot. Lengkah nu hade mah, reboisasi lahan sumber cai, ngahejokeun deui leuweung, ngadegkeun agroforest atawa wanatani, leuweung keur kapentingan tatanen. Lian ti eta, pola tanam (pepelakan) nu bener, diluyukeun jeung iklim atawa cuaca.


Di Jawa Barat ayeuna, sumber daya air teh tacan dikokolakeun sacara komprehen
sif. Buktina, usum hujan banjir, urug, usum halodo, tigerat ku cai, kualitas caina goreng alatan limbah industri jeung limbah rumah tangga. Kawasan lindung, di daerah tangkapan hujan di hulu-hulu cai ruksak parna. Masarakat, boh di kota boh di desa, boros pisan dina make cai. Hukum nu aya patalina jeung cai henteu ditanjeurkeun kalawan bener.

Pikeun ngungkulan mindengna tigerat ku cai mun usum halodo jeung banjir, urug, mun usum hujan, di urang, di Jawa Barat, perlu pamingpin nu bener-bener pamingpin, nu wijaksana, nu ngarti ka manusa jeung ngarti ka alam. Urang perlu nyonto luluhur urang nu mampuh nanjeurkeun karajaan Sunda kurang leuwih 900 tahun. Piraku baheula urang mampuh ngalahirkeun pamingpin nu hade, ari ayeuna henteu! Anu kudu diasongkeun ku urang, mun lingkungan teu diperhatikeun, rek tepi ka iraha nagara Indonesia teh nanjeurna?


Sobirin, Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)

Read More..

Tuesday, August 21, 2007

AKIBAT HILANGNYA KEARIFAN LOKAL

Lingkungan Hidup
Kerusakan akibat Hilangnya Kearifan Lokal
KOMPAS, Jawa Barat, 22 Agustus 2007, MHF
Gambar: Sobirin 2007, dari www.faster.co.id, Bintang di Musim Hujan

"Kerusakan lingkungan cermin hilangnya kearifan lokal", kata anggota DPKLTS, Sobirin, dalam diskusi penyelamatan lingkungan, di Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) Bandung, Selasa (21/8/2007).

Bandung, KOMPAS- Kerusakan lingkungan di Tatar Sunda merupakan cermin hilangnya kearifan lokal. Masyarakat tidak lagi peka dengan tanda-tanda alam dan cenderung mencari keuntungan materi semata.

"Kerusakan lingkungan cermin hilangnya kearifan lokal yang dulu dipegang teguh oleh masyarakat," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, dalam diskusi penyelamatan lingkungan di Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) Bandung, Selasa (21/8).

Sobirin mengatakan, sebagian besar petani tidak lagi menggunakan Sukra Kala Saka Sunda dalam mengelola pertaniannya.

Cara ini dipakai orang Baduy untuk menandai masa-masa bercocok tanam. Misalnya, jika kidang ilang turun kungkang atau bintang kidang (bintang orion) menghilang dan matahari di selatan, akan datang belalang. Artinya, bila terlambat tanam, saat panen padi akan diserang hama.

Sementara bila kidang tidak tampak, berarti roh halus menjaga hutan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Pada masa tersebut, petani dilarang menanam padi dan harus menunggu sampai enam bulan berikutnya.

Selama masa menunggu itu, petani memenuhi kebutuhannya dari padi yang ada di lumbung. Jika patuh dengan pedoman itu, hasil panen akan melimpah.
"Sekarang petani banyak mengandalkan pupuk kimia dan tidak memberi kesempatan kepada tanah untuk memulihkan kesuburannya," tuturnya.

Di sisi lain, lanjut Sobirin, terjadi kerusakan di subdaerah aliran sungai (sub-DAS) Citarum. Kondisi semua sub-DAS sangat memprihatinkan, gundul, dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian atau permukiman.

Di bagian hulu sub-DAS, di batas utara wilayah Kota Bandung, terdapat banyak mata air. Pada tahun 2001 tercatat 77 titik mata air, yang saat ini kondisinya memprihatinkan. Sebagian besar tidak lagi mengeluarkan air.

Semestinya, kata Sobirin, sub-DAS Citarum, termasuk Kawasan Bandung Utara, dibiarkan hijau. Jadi, fungsi ekologis lingkungan hidup tidak terganggu dan manusia dapat hidup harmonis dengan alam.

"Ini bukti leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak. Kalau hutan rusak, air hilang, manusia pun sengsara," ungkap Sobirin.

Kerusakan lingkungan di kawasan Bandung utara juga diutarakan Maman Suratman Iskandar dari Ki Sunda Gallery Art House. Di daerah Dago, ujarnya, hampir tidak ada lagi sawah. Semua bukit dan hutan berganti menjadi bangunan.

"Luas bangunan sudah mencapai 350 hektar. Ini sulit dihentikan, banyak 'orang kuat' di sana," katanya.

Menurut Iskandar, program Cikapundung Bersih dan sejenisnya hanya omong kosong. Sebab, air sungai sudah sangat kotor dan sungai tidak terpelihara lagi. "Masalah pokok bukan di sungai, tetapi di hulu," katanya. (MHF)

Read More..

EKONOMI LESU, PERPARAH KERUSAKAN LINGKUNGAN

Perambahan Hutan Makin Parah
Lesunya Perekonomian Masyarakat Perparah Kerusakan Alam

KOMPAS, Jawa Barat, Senin 05 Juni 2006, eld/mhd

Foto: Sobirin 2007, Pertanian Tidak Konservatif di DAS Citarum

Sobirin menjelaskan, secara konsepsional, kawasan hutan yang ada di Jawa Barat sebaiknya mencapai 45% dari total luas lahan, yaitu seluas 1,61 juta hektar.



Bandung, KOMPAS - Perambahan hutan yang makin parah di kawasan Bandung selatan telah merusak lahan konservasi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Citarum. Padahal, sungai terpanjang di Jawa Barat ini merupakan sumber utama pengisi waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang memiliki pembangkit listrik interkoneksi Jawa-Bali.

Kerusakan hutan di Bandung selatan merupakan gambaran hancurnya hutan di Jawa Barat yang makin hari semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu didasarkan pada data Dinas Kehutanan Jawa Barat yang menyatakan, dibandingkan dengan lima tahun lalu, lahan kritis di Jawa Barat meningkat seluas 211.603 hektar atau 57,37 persen.

Data Dinas Kehutanan menyebutkan, luas lahan kritis pada tahun 2005 ini mencapai 580.397 hektar, sebagian terbesar terdapat di luar kawasan hutan. Adapun lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan mencapai 151.689,25 hektar atau sekitar 26,14 persen.

Menurut Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin yang dihubungi Minggu (4/6), fakta dan angka tersebut belum bisa dijadikan dasar bahwa kerusakan sudah semakin kecil. "Masih banyak bencana yang timbul akibat rusaknya hutan, banjir, dan longsor, bahkan menimbulkan korban jiwa," ujarnya.

Sobirin menjelaskan, secara konsepsional, persentase kawasan hutan yang ada di Jawa Barat sebaiknya mencapai 45 persen dari total luas lahan, yaitu seluas 1,61 juta hektar. Sisanya, bisa dibangun dan dimanfaatkan untuk berbagai macam kepentingan.

"Namun, hal itu tidak akan pernah tercapai," ujarnya. Dari 45 persen tersebut, saat ini hutan yang ada di Jawa Barat hanya tinggal 783.507 hektar atau sekitar 23 persen dari total luas lahan. Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan, luas kawasan hutan yang dipertahankan harus sebesar 30 persen.

Kondisi perekonomian

Menurut Tenaga Pendamping Masyarakat Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung selatan Rahmat Syamsudin, jumlah luas lahan hutan yang dirambah berubah seiring kondisi ekonomi pada umumnya. Apabila kondisi ekonomi sedang lesu, luas wilayah hutan yang dirambah juga meningkat.

"Memang, setelah melalui proses yang panjang, kami bisa memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa perambahan hutan juga merugikan mereka sendiri," Rahmat menerangkan.

Pengaruh yang ditimbulkan bagi lingkungan sekitar hutan yang rusak adalah erosi tanah atau hancurnya ekologi. Contoh nyata yang bisa ditunjukkan adalah menurunnya kualitas air.

Adapun pengaruh yang ditimbulkan kerusakan hutan terhadap Sungai Citarum yang pasti adalah berkurangnya daerah tangkapan air. Air hujan yang turun tidak bisa diserap dan langsung meluncur ke sungai. Menurut data Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung selatan bulan Mei 2006, luas wilayah yang dirambah mencapai 1.153,77 hektar yang dilakukan oleh 3.010 kepala keluarga penggarap.

Ketua Kelompok Tani Hutan Andalan (KTHA) Kabupaten Bandung Dadang Kurnia mengatakan, banyak faktor yang ikut menentukan keberhasilan usaha pengurangan perambahan hutan, seperti program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). "Dalam PHBM, masyarakat ikut memanfaatkan hutan sambil menjaganya," Dadang menjelaskan. (eld/mhd)

Read More..

Sunday, August 19, 2007

PEMBERIAN IZIN DIOBRAL, BENCANA MENGHADANG

KOMPAS, Teropong, 04 April, 2005, BM Lukita Grahadyarini
Foto: Sobirin 2005, Villa Mengundang Bencana di Lereng KBU

Sobirin menilai, persoalan bencana longsor dan banjir merupakan akumulasi dampak dari kebijakan pemerintah yang mengobral izin. "Pemerintah tidak memerhatikan kondisi lingkungan sebelum menerbitkan izin. Pemerintah cenderung mengobral perizinan," tandasnya.




LEGENDA Sangkuriang yang menyebutkan Bumi Parahyangan sebagai negeri gemah ripah lohjinawi-untuk menggambarkan daerah yang subur makmur-barangkali hanya tinggal ilusi jika menilik kondisi kawasan Bandung saat ini. Dari masa ke masa Bandung kian dipadati oleh permukiman, hotel, pabrik, vila, serta bangunan-bangunan permanen lainnya.

KEBERADAAN bangunan-bangunan megah pun tidak menjadi ukuran bagi kemakmuran penduduknya. Sebaliknya, permukiman kumuh mewarnai sejumlah kawasan, mulai dari bantaran sungai hingga pelosok-pelosok kota.

Bandung yang identik dengan lahan-lahan hijau dan subur, kini semakin kehilangan identitasnya. Pembabatan hutan di kawasan lindung untuk keperluan lokasi permukiman, pabrik, bisnis, dan industri di kawasan Bandung seakan menorehkan identitas baru bagi Bandung yang dulu dijuluki sebagai Kota Kembang.

Berdasarkan data dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), selama kurun waktu 1994-2001 terjadi perubahan besar-besaran terhadap Kawasan Bandung Utara (KBU). Hutan sekunder yang semula luasnya 39.349,3 hektar menjadi tinggal 5.541,9 hektar pada tahun 2001. Sebaliknya, kawasan permukiman di wilayah KBU mengalami peningkatan dari 29.914,9 hektar menjadi 33.025,1 hektar. Peningkatan juga terjadi untuk kawasan industri, dari 2.356,2 menjadi 2.478,8 hektar.

SEMENTARA itu, dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 telah diterbitkan izin lokasi baru kepada tiga pengembang seluas 110,9 hektar, yaitu di kawasan Mintakat Perbukitan Ciwangi, Ciburial, dan Cimenyan. Pada tahun 2004, penerbitan izin lokasi mencapai luas 128,2 hektar untuk lima pengembang.

Maraknya penerbitan izin- izin itu ditengarai sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan di kawasan Bandung, dan pemicu maraknya bencana banjir dan longsor.

Wilayah Dago Pakar yang tergolong sebagai kawasan lindung di luar hutan, misalnya, telah dipadati kompleks permukiman elite, vila, resor, dan restoran. Sejauh mata memandang, pepohonan rindang yang dahulu memenuhi kawasan ini tergantikan oleh bangunan-bangunan berdinding beton.

Di Bandung selatan, kondisinya tidak jauh berbeda. Kepadatan permukiman di sepanjang sempadan Sungai Citarum menyebabkan kawasan ini menjadi rutin terkena banjir. Banjir dengan ketinggian hingga tiga meter berkali-kali mengusik warga, sekalipun tidak turun hujan.

Berdasarkan peruntukannya, kawasan sempadan sungai adalah kawasan di kiri dan kanan sungai yang memiliki manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, mengemukakan, peresapan air hujan di Bandung pada tahun 1960 mencapai 75 persen. Seiring dengan maraknya pembukaan hutan, penebangan hutan, dan pendirian bangunan, air hujan yang meresap ke dalam tanah hanya sekitar 20 persen.

Berdasarkan hasil penelitian Dr Jeddi Widarto dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), patahan lembang yang terdapat di antara Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Malabar memiliki potensi gempa setinggi 6,9 skala Richter. Hal itulah yang menyebabkan bangunan Teropong Bosscha peninggalan masa Belanda didesain sedemikian rupa sehingga mampu menahan gempa dengan kekuatan 7 skala Richter.

PEMERINTAH Kota Bandung mengaku kesulitan untuk menertibkan Kawasan Bandung yang telanjur semrawut. Kepala Seksi Pengusutan Pembongkaran Dinas Bangunan Pemerintah Kota Bandung, Endo Sukanda, mengakui, pembangunan di Kawasan Bandung Utara telah melebihi kapasitas wilayah terbangun.

"Kami telah memutuskan penghentian seluruh kegiatan pembangunan di KBU, sampai ada instruksi lebih lanjut. Tetapi masih banyak pemilik lahan yang main kucing-kucingan dengan aparat untuk tetap melanjutkan pembangunan. Kami memohon arahan dari pimpinan untuk pengendalian kawasan ini," papar Endo.

Saat ini penertiban pembangunan masih diprioritaskan pada kawasan Bandung tengah dan barat yang akan dilintasi delegasi Konferensi Asia Afrika pada peringatan KAA ke-50 pada 24 April mendatang.

Endo menyebutkan, pembongkaran bangunan yang melanggar aturan tidak mudah dilakukan, karena KBU terdapat di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang.

"Kalau bangunan yang menyalahi aturan dibongkar, tentu Pemkot Bandung akan bertanya-tanya, mengapa permukiman di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung, tidak ikut ditertibkan? Penertiban itu kewenangan kepala daerah yang bersangkutan," ungkapnya.

Sobirin menilai, persoalan bencana longsor dan banjir merupakan akumulasi dampak dari kebijakan pemerintah yang mengobral izin kepada pemilik lahan. "Pemerintah tidak memerhatikan kondisi lingkungan sebelum menerbitkan izin. Pemerintah cenderung mengobral perizinan," tandasnya.

KETUA Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia Jawa Barat dan Banten, Lambok Hutasoit, menjelaskan, faktor pemicu longsor di antaranya curah hujan yang tinggi, pembabatan hutan, dan pembangunan permukiman secara tidak terkendali di kawasan berlereng terjal. Beberapa kawasan yang dinilai rawan longsor di KBU, di antaranya Maribaya, Gunung Manglayang, dan Gunung Pulasari di Kabupaten Bandung.

Lambok menilai, Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung hingga saat ini belum memiliki kemauan untuk menata kawasan. Pemerintah tidak tegas dalam melarang pendirian permukiman di kawasan rawan longsor, dan membatasi pendirian permukiman di Kawasan Bandung Utara.

Kepala Laboratorium Perancangan Kota Departemen Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Denny Zulkaidi menilai, pendirian bangunan di sejumlah lahan kritis menuai bencana ketika daya tampung kawasan tidak memadai. Struktur tanah yang tidak mampu menahan bangunan mengakibatkan tanah mudah terkikis sehingga terjadi longsor.

Pembangunan yang tidak terkendali merupakan bukti bahwa pemerintah cenderung hanya menerbitkan izin pembangunan kepada masyarakat, tanpa mengkaji proses pembangunan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Lebih dari itu, tidak ada sosialisasi dan ketegasan dari aparat Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung kepada masyarakat mengenai kawasan yang boleh dan tidak boleh dibangun, serta batasan- batasan pembangunan.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, kapasitas wilayah terbangun yang diizinkan di Bandung Utara tidak boleh melebihi 20 persen.

KEPUTUSAN Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menetapkan bahwa kawasan lindung hanya boleh dibangun prasarana dengan kapasitas dua persen dari luas lahan.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menetapkan bahwa kawasan hutan dengan kemiringan lereng lebih dari 40 persen atau 18 derajat tidak boleh didirikan bangunan.

"Persoalannya klise, pemerintah tidak pernah konsisten mengikuti aturan tata ruang yang telah ditetapkan, dan lemah dalam pengawasan pembangunan. Aturan menjadi sia- sia karena tidak diterapkan secara tegas," papar Denny.

Ironisnya, aturan tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Bangunan di Wilayah Kota Bandung hanya memuat prosedur administratif permohonan izin bangunan dan biaya retribusi. Tetapi, tidak dicantumkan secara jelas wilayah yang disetujui dan tidak disetujui untuk dibangun sehingga masyarakat pun tidak tahu lokasi mana yang boleh dan tidak boleh dibangun.

Kecenderungan mengobral perizinan tanpa disertai pengkajian kawasan, sosialisasi, dan pengawasan pembangunan yang saksama hanya akan menuai kesengsaraan dan menimbulkan lebih banyak korban bencana. Kalau sudah terjadi bencana, pemerintah barulah kalang kabut.

"Sudah saatnya pemerintah belajar untuk menahan diri sehingga tidak gegabah dalam pemberian izin. Tidak semua permohonan izin itu harus disetujui, apalagi pembangunan di lokasi yang rawan bencana," tegas Denny. (BM Lukita Grahadyarini)

Read More..

Thursday, August 16, 2007

REFORMASI PERTANIAN

“LANDREFORM”, INFRASTRUKTUR, DAN ATURAN MAIN
LAPORAN KHUSUS, 10 TAHUN KRISIS MULTIDIMENSI
KOMPAS, 16 Agustus 2007, Dody WP, Try H, Hermas EP

Foto: Sobirin 2007, Kawasan Lindung Citarum di Punclut, KBU Menjadi Hunian

“Kenyataannya, kawasan lindung Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hanya tinggal 60.000 hektar”, kata Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).


Nyaris tak ada yang berubah dengan nasib petani selama 10 tahun terakhir. Mereka tetap menghadapi masalah yang sama, mulai dari rendahnya harga gabah, tingginya harga pupuk, sulitnya mendapatkan air irigasi, hingga kuatnya jeratan para tengkulak.


“Bahkan, kalau dipikir-pikir, sekarang kondisinya lebih parah dibandingkan dibandingkan Pak Harto dulu”, kata Marwan (55), petani di Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Pendapat yang sama dilontarkan Sudjana, petani di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. “Dulu petani bisa mendapatkan KUT (kredit usaha tani) dari pemerintah. Sekarang semuanya harus modal sendiri”, kata Sudjana yang tengah mengoperasikan pompa air untuk mengairi sawahnya yang terancam kekeringan.

Kekeringan ini menghantui ribuan petani, karena iklim yang tidak menentu. Di sisi lain, air waduk tak bisa diandalkan untuk pengairan sawah mereka, karena debitnya terlampau kecil dan seringkali tak mampu menjangkau sawah-sawah petani yang lokasinya cukup jauh dari waduk.

Sementara itu, rencana pemerintah meningkatkan produksi beras hingga 32,96 juta ton pada tahun 2007 tak gampang diwujudkan, karena dalam prakteknya banyak menemui kendala.

Padahal, pemerintah sangat berambisi produksi padi tersebut bisa dihasilkan dari 33 provinsi dengan sasaran luas tanam 12,49 juta ha dan sasaran luas panen 11,86 juta ha. Produktivitas padi diharapkan naik dari 4,6 ton per ha per tahun 2006 menjadi 4,9 ton per ha tahun 2007.

Ambisi itu sangat baik. Akan tetapi, di tengah target kenaikan produktivitas yang hanya 0,3 ton per ha itu, konversi lahan menjadi ancaman yang sangat serius. Bayangkan saja, berdasarkan perhitungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2004, sekitar 3,1 juta ha lahan sawah dari total luas sawah 8,9 juta ha sedang dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah.

Ironisnya, sebagian besar rencana tersebut sudah disetujui DPRD setempat dan beberapa di antaranya mulai dijalankan.

Memang, berdasar Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990, lahan pertanian teknis irigasi dilarang dialihkan menjadi lahan non pertanian. Namun, ketentuan itu sudah lama dianggap angin lalu.

Sedikitnya 100.000 hanlahan irigasi teknis kini sudah beralih fungsi. Jika diasumsikan sawah seluas 100.000 ha yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan produksi 5 ton gabah per ha, kehilangan produksi mencapai sekitar 1 juta ton gabah per tahun.

Jumlah ini bukan angka yang sedikit. Oleh karena itu, jika laju konversi lahan irigasi tidak bisa dibendung, intensifikasi juga bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi. Apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi.

“Konversi lahan ini tidak bisa dianggap remeh, karena sangat berpengaruh terhadap produksi padi secara keseluruhan”, kata pakar dan pengajar Ekonomi Kelembagaan di fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Ahmad Erani Yustika.

Jaringan irigasi

Selain menghadapi masalah konversi lahan, dalam 10 tahun terakhir ini sektor pertanian diperburuk oleh laju kerusakan jaringan irigasi yang semakin meluas. Usia jaringan irigasi untuk mengairi lahan sawah seluasaat ini rata-rata di atas 15 tahun dengan tingkat kerusakan, kebocoran, dan pendangkalan yang cukup tinggi.

Sementara perbaikan jaringan irigasi tata usaha tani seluas 67.271 ha dan jaringan irigasi desa seluas 28.851 ha selama ini berjalan lamban. Begitu juga tahun-tahun sebelumnya, perbaikan jaringan irigasi sangat minim karena terbatasnya dana.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya pasokan air dari bendung dan bendungan yang berada di beberapa wilayah di Jawa. Di sekitar panai utara Jawa Barat, misalnya, pasokan air ke sawah-sawah petani sangat minim karena kecilnya debit air di Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, dan Bendungan Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta.

“Minimnya pasokan air dari waduk ini tidak terlepas dari rusaknya daerah tangkapan hujan di hulu waduk”, kata Sobirin, anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

Waduk Jatiluhur yang airnya berasal dari Sungai Citarum yang mestinya bisa mengairi sawah seluas 242.000 ha, kini kemapuannya menurun karena rusaknya daerah tangkapan air. Daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang luasnya 600.000 ha idealnya ditopang 300.000 ha hutan atau kawasan lindung yang berfungsi lindung terhadap daerah tangkapan hujannya. “Kenyataannya, kawasan lindung Citarum hanya tinggal 60.000 ha”, kata Sobirin.

Kondisi yang sama terjadi di Waduk Sutami, Waduk Selorejo, dan Waduk Wonorejo di Jawa Timur. Debit air di waduk-waduk ini sulit mencapai sulit mencapai posisi optimal karena curah hujan yang rendah ditambah lagi dengan rusaknya daerah tangkapan hujan di di hulu DAS Brantas yang menjadi hulu dari waduk-waduk ini.

DAS Brantas memiliki 39 anak sungai dan sebagian airnya ditampung di waduk-waduk tersebut. DAS Brantas juga mengairi sawah-sawah di sebagian besar Jawa Timur yang kemudian memberikan kontribusi sekitar 18 persen dari produksi beras nasional.

“Kini sekitar 10 persen atau seluas 2.799,9 ha lahan di lereng Gunung Arjuno dan Anjasmoro yang menjadi daerah tangkapan hujan Sungai Brantas telah beralih fungsi menjadi kawasan pertanian”, kata koordinator LSM kehutanan Paramitra di Kota Batu, Mainul Sofyan.

Hancurnya kelembagaan

Pada masa Orde Baru, sektor pertanian mendapat perhatian serius dan sudah mulai mengarah pada modernisasi pertanian. Namun, upaya tersebut belum mencapai cita-cita keadilan distribusi pendapatan keluarga petani dan keburu terhenti di tengah jalan.

Dalam 10 tahun terakhir, sejarah pertanian diwarnai berbagai perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social changed). Hasilnya ada pihak yang amat menikmati menguatnya komoditas pertanian yang berorientasi ekspor, seperti kelapa sawit.

Namun, di lain pihak juga berlangsung proses rusaknya infrastruktur pertanian serta hancurnya kelembagaan pertanian, seperti melemahnya peran koperasi unit desa (KUD), melemahnya fungsi petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian, hingga semakin pudarnya karisma kelompok-kelompok tani yang awalnya sangat berperan. Aturan main di sektor pertanian juga mengalami perubahan.

“Tanpa membenahi aturan main antar pelaku ekonomi, yang selalu terbentuk hanyalah pola ekonomi eksploitatif, yang pada gilirannya hanya akan melemahkan ekonomi pertanian secara luas pada saat berkompetisi dengan produk luar”, kata Ahmad Erani Yustika, yang juga alumnus Universitas Gottingen, Jerman.

Untunglah saat ini pemerintah sudah mempunyai program jauh ke depan berupa revitalisasi pertanian dengan sasaran swasembada pangan, seperti tahun 1984. Termasuk dalam program ini adalah perluasan areal pertanian, pembangunan waduk-waduk, dan perbaikan jaringan irigasi serta penyediaan benih unggul untuk meningkatkan produksi pertanian.

“Program ini harus diterapkan secara konsisten, barulah akan terasa hasilnya pada masa mendatang”, kata guru besar Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin.

Namun, berbagai langkah ini pun tidak akan optimal untuk menyejahterakan petani. Aspek lain yang sangat penting adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah distribusi lahan.

“Satu soal yang senantiasa tak pernah pemerintahan mana pun dalam sejarah Indonesia berhasil melakukannya adalah kelanjutan program landreform, redistribusi lahan”, kata Ahmad Erani.

Rendahnya pemilikan tanah dinilai sebagai persoalan sangat mendasar yang bakal bermakna cukup signifikan terhadap keberdayaan petani dan akhirnya kompetisi petani dalam produktivitas dan kualitas produksi.

Oleh karena itu, agenda penting lain yang juga harus dilakukan adalah program landreform. Hanya dengan cara komprehensif dan berkesinambungan inilah cita-cita menyejahterakan petani bisa tercapai. (DODY WISNU PRIBADI/ TRY HARIJONO/ HERMAS E PRABOWO)

Read More..

Tuesday, August 14, 2007

KEKERINGAN AKIBAT RUSAKNYA EKOSISTEM

Air Bawah Tanah Memprihatinkan
KOMPAS
, Jawa Barat, Selasa, 14 Agustus 2004, MHF

Foto: Sobirin 2006, Kekeringan di Pantura Subang

Anggota DPKLTS, Sobirin, menambahkan, kekeringan adalah masalah kompleks sebagai dampak fenomena alam dan perilaku manusia. Jabar sudah mengalami kekeringan, padahal musim kemarau baru saja mulai.

Bandung, Kompas - Kekeringan yang mulai terjadi di Jawa Barat pada awal musim kemarau lebih banyak diakibatkan rusaknya lingkungan atau ekosistem. Pemerintah seharusnya tegas dalam penegakan aturan tentang konservasi hutan, tanah, dan air.

"Sebagian besar kawasan hulu sungai sudah berubah fungsi menjadi cottage, restoran dan kafe, hotel, tempat wisata, vila, maupun ladang-ladang pertanian. Bahkan, saat ini kerusakan hutan akibat kebakaran pun banyak terjadi," papar Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) Dine Andriani di Bandung, Senin (13/8).

Perubahan tersebut, lanjutnya, telah menyebabkan semakin minimnya kawasan hutan sehingga mengganggu fungsi ekologisnya. Tahun 1994-2001 saja tercatat hutan lindung di Jabar berkurang sekitar 10.6851 hektar (24 persen) dan hutan produksi berkurang sekitar 130.589 (31 persen). Adapun alih fungsi lahan sawah menjadi bukan sawah di Jabar mencapai 165.903 hektar (47 persen) dalam kurun waktu 1999-2001.

Padahal, hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.

Selain kerusakan hutan, kata Dine, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan di Jabar. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran. Eksploitasi secara intensif dan tidak terkendali terutama terjadi di daerah-daerah industri, seperti Cekungan Bandung dan Bodebek. Ini mengakibatkan muka air tanah menurun 0,11 meter-2,43 meter.
Solusinya, harus ada penegakan hukum yang tegas, misalnya tentang izin pembangunan, izin pengambilan air tanah, dan konservasi.

Air bawah tanah

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, menambahkan, kekeringan adalah masalah kompleks sebagai dampak fenomena alam dan perilaku manusia. Jabar sudah mengalami kekeringan, padahal musim kemarau baru saja mulai. Yang paling bijaksana adalah pendekatan strategis yang diawali dengan pemulihan kawasan lindung, reboisasi hutan, penghijauan kembali lahan kritis, dan pembangunan agroforest atau wanatani.

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)Jabar Agus Rachmad membenarkan bahwa Jabar rawan kekeringan. Ini karena terjadi kesenjangan persediaan air antara saat musim hujan dan kemarau. "Perbandingannya 10:1. Saat hujan banjir, dan saat kemarau kekeringan," ujarnya.

Agus setuju bahwa air bawah tanah di Jabar sudah memprihatinkan. Bahkan, pada 2025 diprediksi Cekungan Bandung akan mengalami krisis air jika tidak ada perlakuan yang seimbang antara air permukaan dan air tanah.

Agus berencana menyesuaikan tarif antara air permukaan dan air tanah. Selama ini air tanah yang volume dan kualitasnya jauh lebih bagus hanya dikenai pajak yang jauh lebih murah daripada air PDAM. "Nanti akan diseimbangkan agar orang cenderung memilih PDAM sehingga air bawah tanah bisa lebih terpelihara," katanya. (MHF)

Read More..

Monday, August 13, 2007

DAS CIMANUK-CITANDUY TERANCAM

Akibat Langkanya Pepohonan di Sepanjang DAS
Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2007, Ekonomi dan Keuangan, A-81
Foto: Sobirin 2004, S. Cimanuk, banjir dan keruh di musim hujan

Sementara itu, meluasnya kekeringan yang terjadi di Kab. Bandung, dinilai anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, sebagai efek utama dari meningkatnya aktivitas perusahaan pembangunan perumahan.

BANDUNG, (PR).- Pohon-pohon hutan yang biasa hidup di sepanjang daerah aliran sungai di Jabar, kondisinya terancam punah sejak sepuluh tahun terakhir. Padahal, pohon-pohon yang berada di sepanjang daerah aliran sungai itu, selama ini menjadi area tangkapan air.

Kepala Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Cimanuk-Citanduy, Harijoko, di Bandung, Kamis (9/8), mengatakan, kondisi ini disebabkan banyaknya masyarakat yang menebangi pohon-pohon tersebut untuk digunakan sebagai bahan bangunan. "Semakin minimnya keberadaan pohon-pohon hutan jenis itu di sepanjang DAS Cimanuk-Citanduy, menjadi salah satu penyebab aliran airnya semakin berkurang. Padahal, aliran sungai tersebut menjadi salah satu sumber alternatif irigasi bagi berbagai lahan sawah, terutama wilayah Sumedang, Indramayu, Majalengka, Garut, dan Tasikmalaya," katanya.

Untuk mencoba menyelamatkan populasi pohon-pohon hutan di sepanjang daerah aliran sungai, menurut Harijoko, BPDAS Cimanuk-Citanduy berencana membeli sejumlah bibit pohon jenis dimaksud dari masyarakat yang terpelihara baik. Ini sebagai salah satu upaya perangsang agar masyarakat mau dan dapat memelihara keberadaan berbagai jenis pohon hutan di sepanjang daerah aliran sungai.

Upaya lainnya, kata dia, dilakukan perbaikan lingkungan hutan dari kawasan BPDAS Cimanuk-Citanduy, dengan meluncurkan program "Sungai Biru". Ini sebagai upaya menyelamatkan lahan-lahan kritis kehutanan dan perkebunan di sepanjang daerah aliran sungai, selain keperluan pengairan, lingkungan, juga pertanian.

Dikatakan, saat ini tengah diinventarisasi atas berbagai lokasi yang dinilai mendesak dilakukan perbaikan lingkungan. Kerja sama dengan Pemprov Jabar dilakukan bersama Dinas Perkebunan yang sudah menjajaki 3.000-an hektare lahan di sepanjang DAS Cimanuk-Citanduy.

Efek pembangunan

Sementara itu, meluasnya kekeringan yang terjadi di Kabupaten Bandung, dinilai anggota Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, sebagai efek utama dari meningkatnya aktivitas perusahaan pembangunan perumahan. Karena berbagai sumber cadangan air, termasuk sawah terus beralih fungsi, Kabupaten Bandung semakin berkurang sumber cadangan airnya.

"Situasi kekeringan di Kabupaten Bandung akan semakin bertambah dan parah, jika pemerintah setempat tak menghentikan izin pembangunan perumahan. Apalagi saat ini sudah dibagi dengan Kabupaten Bandung Barat, tentunya risiko berkurangnya sumber cadangan air dan mata air, akan terus terjadi, karena di Bandung Barat pun usaha bisnis perumahan terus merangsek banyak sawah dan sumber air," katanya.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan, M.S. Ka'ban, mengatakan, Departemen Kehutanan tak segan-segan akan memerkarakan mereka yang berencana dan terlibat perusakan lingkungan kehutanan. Apalagi untuk daerah Jabar, sejauh ini dinilai sangat mendesak dilakukan perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan.

"Perlu ditingkatkan peran pejabat daerah untuk mendukung pelestarian lingkungan, walau masyarakat yang sadar atas kelestarian indikasinya semakin meningkat," katanya beberapa waktu lalu. (A-81)***

Read More..

Saturday, August 04, 2007

HAK ASASI CAI

Galura, Nomer 46 Tahun ka 18, Minggu IV Pebruari 2007, BRAY
Foto: Rian Info Gading 2007, Cai Keur Nembongkeun Hak Asasi-na
Ku Sobirin

Salasahiji siklus alam nu gampang kaharti nyaeta siklus cai atawa siklus hidrologi. Cai laut alatan panasna panonpoe jadi uap cai, katiup ku angin kabawa ka darat, jadi pihujaneun tepi ka turunna, cai hujan ngamalir jadi walungan nu ngamuara ka laut, jadi cai laut deui. Kitu saterusna, muter.


Turunna hujan di wewengkon tangkapan hujan atawa mindeng disebut daerah aliran sungai (DAS). Unggal daratan jeung pulo dibagi ku DAS-DAS nu karakteristikna sewang-sewangan. Legana wewengkon DAS gumantung kana kaayaan alamna. Diantarana, kemiringan lereng, jenis tanah, jeung gede-leutikna curah hujan.

DAS nu kawasan lindungna hade, leuweungna hejo ngemploh, bisa neundeun jeung ngadalian cai. Sabalikna, nu kawasan lindungna goreng, leuweungna bulistir, moal mampuh neundeun cai jeung ngadalian cai, malah ngabalukarkeun, mun usum hujan erosi, banjir, caah, urug, atuh usum halodo, tigerat ku cai.

Urang Sunda teh geus bogaeun kaarifan ngeunaan kawasan lindung jeung DAS. Dina budaya Sunda aya nu disebut leuweung titipan, leuweung tutupan, jeung leuweung garapan. Leuweung titipan (leuweung sirah cai, leuweung kolot), leuweung nu teu meunang diganggu pisan, biasana ayana di tempat nu leuwih luhur ti pamukiman, di ponclot gunung atawa pasir, gunana keur ngamankeun sumber cai.

Leuweung tutupan (leuweung awisan), leuweung cadangan nu sawaktu-waktu, mun perlu pisan, bisa dimangpaatkeun, babakuna kaina bisa dituar. Saratna nuar hiji kudu melak tilu. Leuweung tutupan ieu perenahna handapeun leuweung titipan.

Ari leuweung garapan (leuweung baladaheun, leuweung sampalan, leuweung lembur), leuweung nu dibuka keur tatanen jeung paimahan (kampung, desa), perenahna di lahan nu datar. Biasana di dieu teh deukeut sumber cai (cinyusu).

Kaarifan lokal saperti tadi sipatna universal lantaran nu digunakeunana teh bahasa alam. Saha wae nu mampuh maca bahasa alam bakal salamet. Kota New York di Amerika Serikat geus nerapkeun konsep kawas kaarifan budaya Sunda. New York mampuh ngahejokeun leuweung di wewengkon tangkapan hujan sarta mampuh nyadiakeun cai bersih sapoena 1,3 milyar galon keur nyumponan warga New York nu jumlahna 9 juta urang. Kota-kota nu geus nurutan New York, diantarana Tokyo (Jepang), Barcelona (Spanyol), jeung Melbourne (Australia).

Kumaha di urang? Sabalikna!

Kota Bandung, Kota Jakarta jeung kota-kota badag sejena di urang kalah ka tihothat ngancurkeun kawasan lindungna, ngaruksak leuweung titipan jeung leuweung tutupanana. Dipake paimahan mewah, villa, hotel jeung sajabana. Ibarat keong nu keur ngaruksak imahna. Norekkeun maneh kana karifan lokal warisan ti karuhun. Hak asasi alam jeung cai dibaekeun.

Balukarna, usum hujan, caah jeung banjir di mana-mana, kaasup banjir di Jakarta jeung di Pantura Jabar. Sabalikna usum halodo di mana-mana tigerat ku cai, lahan tatanen kasaatan, kakurangan cai. Patani dina usum halodo teu bisa nyawah, sawahna bareulah kagaringan, produksi pare nyirorot. Balukarna, harga beas apung-apungan. Patani rea nu geus teu bogaeun pare, da teu bisa nyawah dina usum halodo.

Ku urang, ku pamarentah, ku sakumna masarakat, hak asasi cai kudu ditanjeurkeun. Paripolah nu ngaruksak kawasan lindung kudu dieureunken. Leuweung di kawasan lindung kudu dihejokeun deui, sing jadi leuweung geledegan. Urang kudu prak, prung, der ngomean jeung ngahejokeun deui kawasan lindung.

Urang kudu nyieun konrak ekologi jeung alam, hirup sauyunan jeung alam. Urang ulah ngaruksak alam. Bumi nu keur ditincak ku urang ayeuna lain warisan ti nini-aki urang, tapi meunang nginjeum ti anak-incu urang, nu kudu dipulangkeun dina kaayaan hade.

Read More..

Friday, August 03, 2007

SUNGAI DI BANDUNG MEMPRIHATINKAN

Mata Air di Dago Resort Telah Hilang
KOMPAS, Jawa Barat, 03 Agustus 2007, MHF
Foto: Sobirin 2005, Balap Perahu dan Sampah di Cikapundung

Semua sungai di Kota Bandung dalam kondisi memprihatinkan. Perilaku masyarakat dan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan hidup, terutama sungai, demikian kata Sobirin anggota DPKLTS.


Bandung, Kompas - Semua sungai di Kota Bandung dalam kondisi memprihatinkan. Perilaku masyarakat dan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan hidup, terutama sungai. Demikian dikatakan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin di Bandung, Kamis (2/8).

"Kota Bandung dengan luas 16.730 hektar memiliki 15 sungai utama, dengan 32 anak sungai. Jadi, semua berjumlah 47 sungai. Semuanya kritis," ujarnya. Sungai-sungai tersebut antara lain Cikapundung, Cipamokolan, Cidurian, Cicadas, Cinambo, Ciwastra, Citepus, Cibedug, Curugdogdog, Cibaduyut, Cikahiyangan, Cibuntu, Cigondewah, Cibeureum, dan Cinanjur. "Sungai-sungai itu rusak karena daerah tangkapan air dirusak," kata Sobirin.

Menurut Sobirin, sungai-sungai kecil itu memiliki daerah tangkapan hujan di kawasan Bandung utara melalui lima sub-daerah aliran sungai (DAS). Sub-DAS tersebut adalah sub-DAS Cibeureum, Cikapundung, Cidurian, Cicadas, dan Cikeruh. Kondisi semua sub-DAS sangat memprihatinkan karena daerah di sekitarnya gundul dan beralih fungsi menjadi areal pertanian dan permukiman.

Di bagian hulu, lanjut Sobirin, jumlah mata air di Kota Bandung tahun 2001 mencapai 77 titik. Saat ini sebagian besar tidak lagi mengeluarkan air. "Mata air di Dago Resort bahkan telah hilang tertimbun lapangan golf. Padahal, mata air adalah salah satu ruh kehidupan sungai," katanya. Akibatnya, di Kota Bandung saat musim hujan kelebihan air dan banjir, sementara saat kemarau kekeringan.

Menurut Sobirin, pembangunan Kota Bandung hendaknya diarahkan pada pembangunan kualitas sumber daya, baik alam maupun manusia. Selain itu, harus ada kontrak ekologi antara warga dan alam melalui regulasi. Ini untuk mencegah terputusnya kesinambungan kehidupan Kota Bandung karena kerusakan lingkungan yang terus-menerus.

Menanggapi kondisi sungai tersebut, Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung Muchsin Al-Fikri menilai, Pemerintah Kota Bandung belum serius memperbaiki kondisi sungai. Anggaran perbaikan sungai masih minim. Badan Pengendali Lingkungan Hidup Kota Bandung hanya menganggarkan Rp 1,4 miliar untuk pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dinas Pengairan menganggarkan Rp 892 juta untuk normalisasi sungai. "Harus ada program yang jelas dan anggaran memadai untuk perbaikan sungai," katanya. (MHF)


Catatan:
Sungai Besar di Kota Bandung

Sungai Cikapundung, panjang 28 Km, debit rata-rata max 250 m3/det, min 12 m3/det.

Sungai Cikapundung Kolot, panjang 10 Km, debit rata-rata max 75 m3/det, min 4,5 m3/det.

Sungai Cipamokolan, panjang 18 Km, debit rata-rata max 40 m3/det, min 1,25 m3/det.

Sungai Cidurian, panjang 20 Km, debit rata-rata max 83 m3/det, min 1,25 m3/det.

Sungai Ciparumpung, panjang 10 Km, debit rata-rata max 20 m3/det, min 0,2 m3/det.

Sungai Cicadas, panjang 18 Km, debit rata-rata max 17 m3/det, min 0,6 m3/det.

Sungai Cihampelas, panjang 8,5 Km, debit rata-rata max 15 m3/det, min 0,7 m3/det.

Sungai Cinambo, panjang 7,3 Km, debit rata-rata max 15 m3/det, min 0,5 m3/det.

Sungai Citepus, panjang 6,5 Km, debit rata-rata max 50 m3/det, min 0,1 m3/det.

Sungai Cibeureum, panjang 12 Km, debit rata-rata max 38 m3/det, min 0,75 m3/det.

Sumber: Litbang Kompas (Luhur), diolah dari Dinas Pengairan Kota Bandung.

Read More..

Thursday, August 02, 2007

BUTUH CETAK BIRU PEMBANGUNAN

Penataan Kota Bandung Jangka Panjang Perlu Dikaji Ulang
KOMPAS
, Jawa Barat, Bandung, 02 Agustus 2007, MHF

Foto: Sobirin 2006, Demo Penataan Ruang Kota Bandung

"RTH Kota Bandung belum 10 persen. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota harus memiliki 30 persen RTH dari luas kotanya," kata Sobirin.

Bandung, Kompas - Pemerintah Kota Bandung harus segera memiliki cetak biru (blue print) penataan kota. Hal ini diperlukan sebagai acuan bagi pembangunan kota per 20 tahun sehingga ada kontinuitas dan tidak hanya mengikuti kepentingan kepala daerah terpilih.

Anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, Kusmeni S Hartadi, menyayangkan hingga saat ini Pemerintah Kota Bandung belum memiliki cetak biru pembangunan Kota Bandung. Hal ini membuat pembangunan Kota Bandung menjadi tidak terarah.

Akibatnya, berbagai permasalahan muncul, seperti kemacetan, kerusakan lingkungan, dan persoalan sosial. Apalagi, dengan dibukanya Jalan Tol Cipularang, akses masuk ke Kota Bandung semakin mudah. Arus budaya, ekonomi, dan sosial semakin mudah masuk ke Kota Bandung.

Padahal, menurut Kusmeni, Kota Bandung mempunyai banyak aset dan potensi untuk membuat cetak biru pembangunan kota. Banyak ahli lingkungan, arsitek, dan transportasi di berbagai universitas ternama di Bandung, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Katolik Parahyangan.

"Sekarang ini tinggal kemampuan pemerintah untuk membuat blue print tersebut dengan melibatkan segenap stakeholder Kota Bandung," ujarnya di Bandung, Rabu (1/8).

Dengan adanya cetak biru pembangunan, Kusmeni meyakini, setiap wali kota tidak perlu lagi meraba-raba arah pembangunan karena telah ada panduannya. Masyarakat pun tidak lagi kebingungan akan dibawa ke mana pembangunan Kota Bandung setiap kali ganti pemimpin.

Kota Bandung sebagai tulang punggung (back bone) Ibu Kota negara semestinya digerakkan dengan dasar teknologi informasi. "Semua harus berbasis IT. Kalau ada camat atau kepala dinas yang tidak bisa bertatap muka dengan wali kota, wali kota tinggal meng-klik komputer untuk mengetahui perkembangan tugas bawahannya," kata Kusmeni.

Lingkungan jadi prioritas

Sementara anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin berpendapat, masalah lingkungan harus menjadi prioritas dalam penataan Kota Bandung jangka panjang.

Saat ini, kata Sobirin, alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau (RTH) menjadi permukiman terus terjadi, terutama di kawasan Bandung utara. Jika hal ini tidak dikendalikan, Kota Bandung akan terancam krisis lingkungan.

"RTH Kota Bandung belum 10 persen. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota harus memiliki 30 persen RTH dari luas kotanya," katanya. Luas Kota Bandung 16.729,65 hektar.

Kepala Dinas Tata Kota Juniarso Ridwan mengakui, Kota Bandung belum memiliki cetak biru pembangunan untuk masa 20 tahunan. Selama ini pembangunan hanya berdasarkan rencana strategis Kota Bandung yang berlaku lima tahun. "Harus dipikir ulang pembangunan Bandung dalam jangka panjang," katanya.

Juniarso sepakat jika ada upaya menata ulang tata ruang Kota Bandung. Untuk itu, Pemerintah Kota Bandung sedang menyelesaikan rencana pembangunan jangka panjang. "Mungkin tahun anggaran sekarang ini sudah mulai dibahas," ujarnya. (MHF)

Read More..

Wednesday, August 01, 2007

PERKUAT DAYA TAHAN LOKAL LEWAT HUTAN KOTA

Bandung Hadapi Ancaman Iklim
Kompas, Jawa Barat, Jumat, 09 Februari 2007, jon
Foto: Sobirin 2005, Gedung Sate dan Pasar Kaget
Dimintai pendapatnya, pakar lingkungan dari DPKLTS Sobirin mengatakan, upaya terobosan yang dilakukan Pemkot Bandung saat ini tidaklah cukup. Yang paling penting adalah keberadaan hutan kota di Kawasan Bandung Utara. Soalnya, kawasan lindung inilah yang berfungsi vital terkait konservasi air.

Bandung, Kompas - Kota Bandung dan sekitarnya kini menghadapi ancaman serius berupa perubahan iklim makro. Jika tidak diantisipasi, persoalan terkait menurunnya curah hujan bisa memicu bencana ekologis berupa krisis air bersih secara masif di kota kembang. Apalagi, daerah Bandung utara juga termasuk lahan kritis resapan air.

Hasil studi yang dilakukan Departemen Meteorologi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung (ITB) baru-baru ini menunjukkan, curah hujan di Kota Bandung terus menunjukkan penurunan dengan tren sekitar 3 persen per tahun. Kondisi ini memengaruhi signifikansi kandungan permukaan air tanah.

"Skala ketersediaan air resapan di Bandung sangat mengkhawatirkan, yaitu sebesar 4,906. Padahal, normalnya di atas angka 5. Dibandingkan dengan Jakarta sekalipun, Bandung bisa dibilang sangat bermasalah. Soalnya, DKI Jakarta saja skalanya sebesar 5,3. Jadi, meskipun padat, ketersediaan air relatif aman. Tidak demikian dengan Bandung," papar pakar perubahan iklim ITB Armi Susandi usai jumpa pers, Kamis (8/2).

Saat ini, lanjut Armi, Bandung dan sekitarnya tengah mengalami perubahan iklim secara masif. Suhu di permukaan maupun udara melonjak drastis dibandingkan dengan puluhan tahun lalu. Bahkan, lajunya mencapai 6-7 derajat Celsius di sejumlah titik. Dengan kondisi ini, tidaklah berlebihan jika potensial terjadi anomali cuaca di Bandung.

Selain iklim global, kondisi meningkatnya suhu di permukaan ini juga dipicu menurunnya daya dukung lingkungan udara. "Pertukaran massa udara di atas permukaan kurang lancar. Salah satunya, karena Bandung jauh dari sumber tekanan, misalnya pantai," paparnya.

Jika tidak ada proses alam, semacam hujan, Armi tidak berani membayangkan dampak yang terjadi selanjutnya bagi kota semacam Bandung. Sebab, keberadaan air hujan bagaimanapun ikut berperan dalam siklus "membasuh" udara kotor dan menurunkan suhu permukaan. Bangun hutan kota

Secara terpisah, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandung Ayu Sukenjah mengatakan, Pemerintah Kota Bandung telah dan tengah berupaya mengatasi ancaman ini dengan sejumlah program.

Program itu adalah aturan pembuatan sumur resapan bagi bangunan dalam tingkatan tertentu, penghijauan melalui gerakan penanaman sejuta pohon, alih fungsi SPBU sebagai taman kota, dan pendidikan penyadaran lingkungan.

Dimintai pendapatnya, pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin mengatakan, upaya terobosan yang dilakukan Pemkot Bandung saat ini tidaklah cukup.

"Yang paling penting adalah keberadaan hutan kota di Kawasan Bandung Utara sendiri. Soalnya, kawasan lindung inilah yang berfungsi vital terkait konservasi air. Boleh saja iklim global memengaruhi. Namun, asalkan iklim lokalnya kuat, niscaya tidak ada masalah. Maka, upayanya tidak lain adalah memperbanyak hutan kota," katanya.

Sobirin memaparkan, 1 hektar hutan kota bisa menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun dan mendaur ulang 4.000 meter kubik udara bersih ke udara.

Belum lagi, keuntungan lainnya yaitu mendaur ulang 700.000 liter limbah cair secara alamiah. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan penghijauan secara masif. (jon)

Read More..

BANJIR CILEUNCANG

GALURA, No. 35 Taun Ka-18, Minggu II Desember 2006, BRAY
Foto: Andri Gurnita, PR, 23/04/2007, Cileuncang Kota Bandung
Ku: Sobirin (Anggota DPKLTS)


Geus sababaraha poe, wewengkon Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung jeung Cimahi) dibanjur ku hujan badag.


Geus sababaraha poe, wewengkon Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung jeung Cimahi) dibanjur ku hujan badag. Teu beda jeung taun-taun samemehna Bandung ngadadak banjir ku cileuncang. Cai ngagulidag minuhan jalan tepi ka macetkeun patalimarga. Drainase (pamiceunan cai) teu mampuh nampung cihujan.

Cileuncang teh balukar taneuh teu mampuh nyerep cai, ku beuki lobana bangunan jeung jalan. Di Kota Bandung wae meh taya taneuh nu nyesa, ditutupan ku bangunan, tembok, jeung aspal, kaasup di paimahan-paimahan nu beuki dieu beuki renung. Ditambah ku drainase nu padu dijieun. Teu aneh cileuncang the ngadatangkeun banjir.


Memeh taun 1960-an, Di Kota Bandung, cai hujan, 65% nyerep ka jero taneuh, sesana, 35%, jadi cileuncang nu ngamalir dina saluran drainase nu kaayaanana hade. Ari ayeuna kumaha? Kiwari, di Kota Bandung, cai hujan nu nyerep ka jero taneuh teh ukur 5%, ari 95% deui jadi cileuncang nu teu bisa dikamalirkeun ku saluran drainase.


Dumasar konsep kebencanaan, pikeun ngungkulan banjir cileuncang di daerah perkotaan (hususna di Kota Bandung) aya 4 (opat) lengkah nu bisa dipilampah:
siap siaga, dilaksanakeun bulan Oktober-Nopember-Desember,
tanggap darurat, bulan Januari-Pebruari,
pasca kejadian, bulan Maret-April,
mitigasi (tarekah sangkan ulah kajadian deui), bulan Mei-Juni-Juli-Agustus-September.


Ayeuna geus nincak bulan Desember, hartina waktu siap siaga urang tinggal boga sabulan deui. Dina bulan Desember ieu, urang perlu jeung kudu narekahan sangkan banjir cileuncang henteu motah teuing. Di antarana wae, ngeruk runtah di solokan babakuna di wewengkon nu mindeng banjir cileuncang.
Lian ti eta oge riul-riul (liang pamiceunan cai) kudu diomean ngarah teu katutup, memener drainase sangkan mampuh ngamalirkeun cai hujan, di tempat-tempat nu mindeng banjir cileuncang di jieun sumur-sumur resapan cai, jeung mun bener-bener diperlukeun nyadiakeun kompa cai katut selangna keur miceun cileuncang ka walungan ka nu deukeut.

Waktu keur meumeujeuhna usum hujan (Januari-Pebruari), tanggap darurat, urang perlu waspada bisi aya banjir cileuncang. Pamarentah hadena nyieun peta lokasi genangan cileuncang. Waktu kajadian, legana, jerona, jeung balukarna dicatet.

Bulan Maret-April, pasca kejadian, hujan mimiti ngurangan sarta kaayaan kota geus normal deui. Runtah urut kabawa banjir cileuncang kudu dibersihkeun.
Lian ti kitu lain hartina urang terus cicing.

Ti Mei tepi ka September, tepi ka datang usum hujan deui, pamarentah jeung masarakat kudu terus-terusan narekahan (mitigasi) sangkan mun usum hujan engke banjir cileuncang paling henteu bisa ngurangan.

Aya sababaraha lengkah nu ku urang perlu dipilampah:

Kahiji, nyien peta saluran drainase, ngawengku peta skala regional (sakota Bandung), skala meso (sawilayah, kecamatan), jeung skala mikro (sakalurahan, RW, RT, jeung komplek pamukiman). Ieu peta the keur titincakan dina nyusun kabijaksanaan para pamingpin.

Kadua, sosialisasi kumaha carana nyinglar banjir cileuncang.
Katilu, ngomean drainase sangkan luyu jeung kaayaan kota katut rencana pangwangunan kahareup.

Kaopat, di tempat-tempat nu mindeng katarajang banjir perlu dipasang papan informasi: “Awas hati-hati, sering terjadi cileuncang. Jangan buang sampah sembarangan!”.


Ku cara kitu, diharepkeun wewengkon Cekungan Bandung bisa kasinglar tina pasualan banjir jeung cileuncang. Saratna? Ditarekahan babarengan ku pamarentah jeung masarakat, kaasup pangusaha swasta.**

Read More..